Konon, salah satu pekerjaan paling mudah di dunia ini adalah menuding alias menyalahkan orang lain di setiap kegagalan yang terjadi.
'Pengkambing hitaman' orang lain kerap menjadi reaksi pertama setiap kali kita melakukan kesalahan. Terlebih kesalahan itu berefek besar terhadap kepentingan banyak orang.
Mulai dari hal kecil semacam dapat hasil buruk dalam ujian bahasa inggris, hingga urusan keretakan rumah tangga, selalu ada orang lain yang dianggap ikut andil memunculkan masalah tersebut.
Ketika angka 4 yang tertera di atas lembar nilai ujian bahasa inggris, guru sering menjadi alamat tudingan, “Gurunya ngajarnya nggak becus,” atau “Memang sejak lama guru bahasa itu sentimen sama saya.”
Sewaktu gagal masuk perguruan tinggi negeri, mudahnya kita berujar, “Suasana kelas tidak kondusif dan kotor. Jelas sangat mengganggu konsentrasi kita sebagai murid.”
Saat kita terlambat memberikan bahan laporan yang diminta atasan, padahal batas waktu yang diberikan sudah lewat, PC menjadi sasaran, “PC-nya error terus pak.”
Presentasi yang gagal dan menyebabkan kerjasama dengan pihak lain tidak terealisasi, rekan sekerjapun tertuding, dianggap tidak banyak membantu.
Begitu juga dalam Kehidupan dalam rumah tangga. Soal tuding menuding ini nampaknya sudah lumrah terjadi. Anak kesayangan pulang sambil menangis dan mengaku dipukul teman bermainnya, sang ibupun mencak-mencak dengan sejuta makian tanpa mau tahu siapa yang salah, dan siapa yang memulai.
Bahkan kehancuran mahligai rumah tangga pun tak jarang memunculkan orang ketiga sebagai 'kambing hitam'nya.
Padahal bisa jadi, berbagai kekurangan yang terlupa kita tutupi selama bertahun-tahun berumah tanggalah yang sebenarnya menjadi penyebab utama.
Dalam kerja tim pun demikian. Agar terhindar dari penilaian buruk atas prestasi kerja kita, maka partner kerjapun dijadikan alasan kegagalan dalam laporan kepada atasan. Kita lupa, bahwa kesuksesan maupun kegagalan kerja tim, yang dinilai adalah tim itu sendiri, bukan individunya. Kegagalan anggota tim, pasti ada andil pimpinan tim yang menyebabkannya. Dan siapapun yang menjadi pimpinan tim, harus siap menanggung resiko lebih besar. Bukankah pimpinan tim juga mendapatkan keuntungan lebih besar dari keberhasilan yang dicapai?
Cobalah telusuri lagi setiap permasalahan yang terjadi, pasti ada celah kesalahan yang alpa kita antisipasi dan itu benar-benar murni kesalahan kita. Masalahnya, seringkali mata (kita) ini tertutupi oleh rasa kecewa yang begitu besar, sehingga tak mampu melihat permasalahan lebih jernih. Kalaulah kita sudah mengantisipasi setiap inci faktor penyebab kesalahan pada diri sendiri, jangan-jangan kita lupa mengingatkan anggota tim lainnya untuk melakukan hal yang sama; Meminimalisir faktor kesalahan.
***
Hidup tanpa menyalahkan atau menuding orang lain di balik kegagalan yang terjadi semestinya dibiasakan. Sejak detik ini, dan mulai dari diri sendiri.
Jika kita mampu menerapkannya dalam diri, barulah mengajak anggota keluarga yang lain untukmemulainya. Terus berlanjut ke lingkungan sekitarnya untuk menularkan kebiasaan ini.
Duh, indahnya membayangkan sebuah kampung yang berisi orang-orang yang mau berunjuk diri, dan berani mengakui kesalahan tanpa menuding orang lain.
Nikmatnya hidup di sebuah negeri yang masyarakatnya berani berdiri paling depan untuk bertanggung jawab atas kegagalan, kekeliruan, dan kealpaan yang terjadi. Tentu teramat bahagia jika kita sendiri yang mau memulainya; untuk hidup tanpa menuding. Pasti bisa..
Insyaallah..!!
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar