Sebelum jam kerja berakhir, tiba-tiba ada email masuk, lalu ane
sempatkan membacanya dalam waktu lima belas menit, sebuah email dari
teman lamaku yang kembali bertemu melalui satu jaringan social. Ada
sebuah rasa yang menyeruduk ke dalam nuraniku yang ada dari kisah
berikut ini;
Kebahagiaan dalam pandangan manusia berbeda-beda ; dikisahkan ada
seseorang ayah yang sangat kaya hendak mengajarkan anaknya nilai sebuah
kenikmatan yang ada dihadapannya, dan ia ingin memperlihatkan bagaimana
seorang fakir dapat hidup.
Lalu ia mengajak anaknya dalam sebuah perjalanan ke sebuah pedesaan
terpencil, mereka menghabiskan waktunya di sana hampir 3 hari 3 malam,
mereka menginap di gubuk seorang fakir yang hanya memiliki penghasilan
dari sepetak sawahnya. Dalam perjalanan kembali ke rumahnya, sang ayah
menanyakan anaknya : bagaimana perjalanan kita ?
Anaknya menjawab ; menakjubkan. Sudahkan kau melihat kehidupan seorang
fakir ? tambah ayahnya. Tentu ayah, sambil terus membangun pertanyaan
berikutnya sang ayah berkata ; coba ceritakan padaku pelajaran apa yang
kau ambil dalam perjalanan ini wahai anakku ?
Sambil melihat pemandangan di sekitar jalan yang bergerak cepat
mengikuti kendaraan yang ditumpanginya, sang anak menjawab ; wah wah
wah, ternyata kita hanya punya satu anjing sementara orang fakir itu
memiliki empat, kita memiliki satu kolam renang di tengah kebun kita,
sementara dia memiliki sungai yang sangat panjang dan seakan tidak
berujung. Hem, desahnya, sambil matanya menerawang ke langit memandangi
pergerakan awan.\
Kita membeli lampu-lampu untuk menerangi kebun kita, sementara dia
memiliki bintang gemintang yang berkilauan di langit, halaman rumah kita
hanya berujung pada kebun kita, sementara rumahnya tiada berpagar dan
luas seluas hamparan padi di sekililing rumahnya. Air jernih dari sumur
si fakir direguknya, airnya terasa manis di tenggorakannya, tapi sang
anak terus melampiaskan jawabannya ; kita hanya mempunyai halaman kecil
untuk hidup diatasnya, sementara si fakir itu mempunyai halaman yang
tidak terbatas melampaui ladang-ladang, kita memiliki beberapa pembantu
yang mengurus semua kebutuhan kita, sementara ia melakukan sendiri semua
kegiatannya sambil dibantu oleh keikhlasan para tetangganya, kita
membeli makanan, sementara ia makan dari hasil jerih payah cocok
tanamnya, kita memiliki pagar tembok yang tinggi agar kita terlindungi,
sementara ia memiliki tetangga dan teman yang saling melindunginya.
Sang ayah berdiam seribu kata mendengar jawaban anaknya yang panjang
lebar atas satu pertanyaannya, lalu sebagai penutup kegembiraannya sang
anak berkata ; terima kasih ayahku, karena kau telah memperlihatkan
kepadaku betapa fakirnya kita ini.
Sebelum sempat aku membalas emailnya, ia sempat berpesan pada
chattingnya ; bacalah dari kehidupan alammu, belum tentu hidupmu di kota
besar akan membuatmu berjiwa besar. Walapun bukan tamparan tangan, tapi
kata-katanya seakan menampar kesadaranku. Teringat sebuah pesan dari
teman sekerjaku ; maunya hidup di desa tapi rezeki kota.
Sambil menutup computer kantorku, sementara akal dan semua ke-aku-anku berkiblat pada ucapan anak kecil dalam kisah diatas.
Terima kasih sobat..!
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar