Al-Imam, seorang yang dikasihi oleh banyak orang dan senantiasa didambakan kemuliaan hatinya, malam itu mengimami shalat Isya’ suatu jamaah yang terdiri dari para pejabat negara dan pemuka masyarakat.
Berbeda dengan adatnya, sesudah takhiyyat akhir diakhiri dengan salam, Al-Imam langsung membalikkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya kepada para jamaah dan menyorotkan matanya tajam-tajam.
”Salah satu dari kalian keluarlah sejenak dari ruangan ini,” katanya, ”Di halaman depan sedang berdiri seorang penjual kacang godok. Keluarkan sebagian dari uang kalian, belilah barang beberapa bungkus.”
Beberapa orang langsung berdiri dan berlari keluar, dan kembali ke ruangan beberapa saat kemudian.
”Makanlah kalian semua,” lanjut Al-imam, ”Makanlah biji-biji kacang itu, yang diciptakan oleh Allah dengan kemuliaan, yang dijual oleh kemuliaan, dan dibeli oleh kemuliaan.”
Para jamaah tak begitu memahami kata-kata Al-imam, sehingga sambil menguliti dan memakan kacang, wajah mereka tampak kosong.
”Setiap penerimaan dan pengeluaran uang,” kata Al-imam, ”hendaklah dipertimbangkan berdasarkan nilai kemuliaan. Bagaimana mencari uang, bagaimana sifat proses datangnya uang ke saku kalian, untuk apa dan kepada siapa uang itu dibelanjakan atau diberikan, akan menjadi ibadah yang tinggi derajatnya apabila diberangkatkan dari perhitungan untuk memperoleh kemuliaan.”
”Tetapi ya Imam..,” seseorang bertanya, ”apa hubungannya antara kita beli kacang malam ini dengan kemuliaan?”
Al-Imam menjawab, ”Penjual kacang itu bekerja sampai nanti larut malam atau bahkan sampai menjelang pagi. Ia menyusuri jalanan, menembus gang-gang kota dan kampung-kampung. Di malam hari pada umumnya orang tidur, tetapi penjual kacang itu amat yakin bahwa Allah membagi rejeki bahkan kepada seekor nyamuk pun. Itu taqwa namanya. Berbeda dari sebagian kalian yang sering tak yakin akan kemurahan Allah, sehingga cemas dan untuk menghilangkan kecemasan dalam hidupnya ia lantas melakukan korupsi, menjilat atasan serta bersedia melakukan dosa apa pun saja asal mendatangkan uang.”
Suasana menjadi hening. Para jamaah menundukkan kepala dalam-dalam. Dan Al-imam meneruskan, ”Istri dan anak penjual kacang itu menunggu di rumah, menunggu dua atau tiga rupiah hasil kerja semalaman. Mereka ikhlas dalam keadaan itu. Penjual kacang itu tidak mencuri atau memperoleh uang secara jalan pintas lainnya. Kalau ia punya situasi mental pencuri, tidaklah ia akan tahan berjam-jam berjualan.”
”Punyakah kalian ketahanan mental setinggi itu?” Al-imam bertanya, ”Lebih muliakah kalian dibanding penjual kacang itu, atau ia lebih mulia dari kalian? Lebih rendahkah derajat penjual kacang itu dibandingkan kalian, atau di mata Allah ia lebih tinggi maqam-nya dari kalian? Kalau demikian, kenapa di hati kalian selalu ada perasaan dan anggapan bahwa seorang penjual kacang adalah orang rendah dan orang kecil?”
Dan ketika akhirnya Al-imam mengatakan, ” Maha mulia Allah yang menciptakan kacang, sangat mulia si penjual itu dalam pekerjaannya, serta mulia pulalah kalian yang membeli kacang berdasar makrifat terhadap kemuliaan…” – salah seorang berteriak, melompat dan memeluk tubuh Al-imam erat-erat.
**********
Setelah baca kisah pendek ini bisakah kita berfikir ? bahwa jadi Imam/pemimpin atau apalah sebutannya, untuk memikirkan orang di bawahnya, bukan orang diatasnya, pentingnya makna Imam yang jadi pengayom serta solusi dari segala masalah di segala kalangan sudahkan ter aktualisasi ? Itulah sebabnya, negeri ini kian hari kian ambruk karena apa, pondasi dasar negara ini nggak lagi terawat, semangat berbagi saling mengangkat tiada lagi tampak. kita semua wabil khusus ane sendiri lebih suka mikir perut sendiri dari pada perut orang lain, maka malai sekarang yuk sama-sama kita berfikir berbagi.. Semangat..!!
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar