Mooner [area]- Panggung langit di hari itu terpesona pada satu nama. Hari itu, Rasulullah yang tengah sakit mengajak seluruh ummatnya untuk berkumpul di sebuah lapangan yang luas terbuka. Ia menatap ummatnya yang sudah berjumlah puluhan kali lipat dibanding saat sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu saat baru menerima amanah dakwah.
Entah seperti apa kondisi yang ada di dalam hatinya, etapi wajahnya tetap menunjukkan semangat dan senyum cerah kepada ummatnya.
“Hari ini…” ucapnya dengan suara yang agak parau.
“..telah Kusempurnakan bagimu agamamu. Dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu sebagai agamamu..”
“Allahu Akbar..!” Gegap gempita memenuhi rongga dada para pejuang Islam itu. Setelah perjuangan yang sekian lama, perjuangan yang meminta segalanya: harta, raga, bahkan jiwa mereka. Setelah peluh keringat bahkan darah yang mereka korbankan untuk memperjuangkan tegaknya Islam, ayat yang satu ini seolah menjadi telaga pelepas dahaga mereka di tengah perjalanan panjang dakwah ini.
Tapi tidak untuk satu sosok. Sosok yang hari itu menjadi perhatian panggung langit itu tidak bergembira seperti yang lainnya. Tidak terlihat kegembiraan di wajahnya.
Padahal, dia adalah sosok yang paling lama memperjuangkan Islam ini bersama Rasulullah. Padahal, dia –dan Rasulullah– adalah sosok yang paling pantas bahagia dengan berita ini.
Tapi orang itu, sosok itu, dia tidak bergembira. Justru, tangis yang keluar dari mata jernihnya.
“Demi Allah, wahai kekasih Allah!” ucapnya dengan menjerit. Derai air mata tidak tertahankan lagi menghiasi wajahnya yang kurus.
“Demi Allah, anak dan istriku sebagai penebusmu! Anak dan istriku sebagai penebusmu, wahai kekasih Allah!”
Hari itu benar-benar hanya milik Abu Bakar.
Ya.. Sahabat, kekasih, sekaligus mertua dari Rasulullah.
Orang-orang bingung melihat derai tangis dan jeritan sosok yang penuh pesona tersebut. Tidak satupun mengerti.
Ya, hanya dia yang mengerti. Hanya Abu Bakar, yang mengerti bahwa turunnya ayat tersebut adalah pertanda bahwa tugas Rasulullah telah selesai. Bahwa tak lama lagi, sosok qudwah terbaik umat manusia tersebut akan meninggalkan kefanaan dunia ini.
Abu Bakar, nama yang paling dekat dengan Rasulullah. Bahkan sang Rasul menyatakan bahwadia adalah orang yang paling Rasulullah cintai di kalangan laki-laki. Tentu dapat terbayang, betapa sedihnya Abu Bakar ketika isyarat itu tiba. Dia menjerit, padahal biasanya dia bersuara lembut. Dapatkah kita bayangkan bagaimana perasaannya ketika Rasulullah wafat?
Tidak.. Dia tidak seperti yang kita bayangkan. Dia adalah Abu Bakar, bukan kita. Sosoknya justru hadir di tengah derai tangis umat muslim sebagai sosok yang setegar karang.Hari itu kelabu.
Ya.., Umar bin Khattab tengah berkeliling di kota Makkah. Tangan kanannya mengepal teguh sebuah pedang. Sosoknya yang tinggi besar membuat siapapun akan berpikir dua kali jika ingin menghentikannya.
“Wahai umat Mekkah!” ucapnya dengan mata yang memerah dan wajah yang juga merah padam.
“Siapapun yang mengatakan bahwa Rasulullah telah mati, akan aku penggal lehernya!” ucapnya lantang.
“Ia (Rasul) tidak mati! Ia hanya dipanggil oleh Allah sebagaimana Nabi Isa diangkat ke langit! Suatu saat dia akan kembali kepada kita!”
lanjutnya dengan suara yang tak kalah menggelegar.
Di saat itulah, pribadi sebening nurani Abu Bakar hadir. Kokoh jiwanya selayak batu karang di lautan. “Duduklah, Umar..” ucapnya.
“Barangsiapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya dia telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Dia Maha Hidup, tidak akan pernah mati.” Umar terdiam menatap Abu Bakar.
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,” ucap Abu Bakar dengan suara yang tegas namun lembut.
“…Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
(QS.Ali Imran: 144)”
0 Comment [area]:
Posting Komentar