Pengalaman pahit masa lalu, sakit hati yang tak kunjung hilang, atau rasa kecewa yang tak pernah bisa kompromi untuk menyingkir dari bilik hati, senantiasa menjadi beban dalam hidup ini. Bahkan, tak jarang seseorang membawa-bawa beban ini sepanjang hidupnya, ke manapun ia pergi, saat terpejam terlebih di saat sadar. Bayang-bayang orang-orang dari masa lalu yang pernah membuat hati tertusuk, tak pernah lenyap. Padahal segala upaya sudah dicoba untuk melupakannya, tetapi masih saja terus menggerayangi dan begitu dekat.
Benarkah?
Benarkah kita telah benar-benar ingin melupakannya?
Sudahkah kita melakukan cara yang benar untuk mengusir bayang-bayang masa lalu, sakit hati, dan kekecewaan yang tak pernah bisa terlupakan?
Jangan-jangan kita hanya berteriak, "Pergiii, hai sakit hati!" Tetapi sesungguhnya kita tak mengizinkannya pergi. Kok bisa?
Yaa.., karena yang meminta pergi hanya mulut ini, dan bukan hati kita.
Tahukah kawan, bahwa sakit hati, kecewa, perasaan bersalah, iri, kesal, benci, dan lain sebagainya itu muncul lantaran ego menstimulus otak ini untuk kemudian menyimpulkan bahwa keadaan ini sebagai masalah. Persepsi yang muncul setelah dipengaruhi ego jelas-jelas menyatakan, bahwa keadaan yang tengah menimpa diri kita adalah masalah besar. Sehingga terus menerus pikiran ini terfokus pada dua hal; menghadapi masalah dan orang yang kita anggap telah menimbulkan masalah tersebut.
Padahal, boleh jadi kesimpulan yang diambil oleh otak -setelah dipengaruhi ego-itu hasil pembelajaran alam bawah sadar kita, berdasarkan pengetahuan yang keliru, kebiasaan lama yang salah, namun terus menerus diulangi, lingkungan yang salah, bahkan bentuk kewajaran publik dan sejarah.
Misalnya, kita kerap menganggap sesuatu pantas dikerjakan lantaran banyak orang mengerjakannya, atau melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman dan kebiasaan. Boleh jadi kebiasaan lama itu tak tepat, namun karena sudah biasa dan terus menerus dilakukan, maka terciptalah sebuah pembenaran. Dan seringkali kondisisemacam ini dijadikan referensi untuk mengambil kesimpulan, bahkan keputusan.
Termasuk kesimpulan yang diambil oleh otak ini untuk mengatakan suatu keadaan itu sebuah masalah atau bukan.
Sadarilah, kita tidak sendirian menjalani kehidupan. Dalam diri juga masih terdapat sesosok yang bernama 'hati nurani' Jadi, lakukanlah dialog dua diri, Antara 'AKU' dan hati nurani. Aku yang dimaksud di sini lebih diartikan sebagai ego, dan ego inilah yang sering mengklaim paling memiliki diri kita. Padahal, hati nurani jauh lebih dalam bersemayam dalam diri dan semestinya hati nuranilah yang lebih dominan menjalanihidup kita. Atau lebih tepatnya, kita mengizinkan hati nurani mengambil peran lebih dalam diri kita, untuk merencana, mengambil sikap, membuat keputusan, danmenentukan ke mana arah akhir hidup kita.
Masalahnya, selama ini ego-lah yang terus menerus mendominasi diri. Hati nurani biasanya lebih berperan layaknya pahlawan kesiangan yang muncul belakangan, tepat satu langkah di belakang penyesalan. Coba ingat lagi, biasanya kebenaran dan kesadaran dari nurani baru muncul setelah kita menyesal telah melakukan sebuah kesalahan. Di mana ego pada saat itu? ia bersembunyi, menciut, dan malu menampakkan dirinya. Setelah itu, barulah mulut ini berkata, "Bodohnya..".Melakukan dialog dua diri, antara ego dan hati nurani tidak sedang bicara kalah atau menang. Sebab, seringkali hati nurani begitu mudah terkalahkan. Karena ego tidak datang sendirian, ia seringkali ditemani oleh kawan-kawannya, antara lain, nafsu, ambisi, keserakahan, dan ketidakpuasan. Karenanya, dialognya hanya berupa penyelarasan mana yang lebih baik untuk diri ini.
Tetapi, sungguh sulit nian melakukannya. Sekali lagi, bahkan barusan saja hati nuraniini terkalahkan oleh ego. Saat seperti ini -dan kita akan selalu menemui kondisi ini- yang kita butuhkan adalah Allah. Agar Dia senantiasa menunjukkan jalan yang lurus, jalan yang pernah ditunjukkan kepada orang-orang yang telah diberi-Nya nikmat dan bukan jalan orang-orang yang sesat.
Wallahua'lam..
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar