Mooner [area]- Datanglah ke Pontianak. Susuri Kapuas dengan sampan sampai bersua cabang
 sungai, titik temu Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak. Itulah 
Kampung Dalam Bugis. Di sana ada Keraton Kadriyah, istana seluas 1.500 
meter persegi, terbesar di Kalimantan Barat. 
Istana dua tingkat 
ini terbuat dari kayu belian. Kalau pintu gerbang istana ini ala 
Portugis, bukan berarti sultan tempo dulu kebarat-baratan. Gerbang ini 
fungsinya mengantisipasi serangan musuh. Meski zaman bergulir, Istana 
Kadriyah sampai kini tetap membiaskan wibawa dan kejayaan Kerajaan 
Pontianak. Bila kita mafhum dengan sejarah tersebut, maka perabotan di 
dalam istana -- singgasana, kursi kerja, pakaian dan payung kebesaran, 
tongkat pangeran dan raja, tombak, tandu, kaca pantulan seribu, meriam 
kuno, surat-surat emas, Alquran tulis tangan, alat upacara dan keramik 
--- akan mengundang haru. Semua benda antik tersebut "menerbangkan" kita
 ke hari-hari di mana keturunan Alkadri memimpin Pontianak. 
Tidak
 jauh dari istana Kadriyah ada Mesjid Jami Sultan Pontianak. Masjid 
seluas 40 X 35 meter, tinggi 20 meter, ini atapnya bertingkat, mirip 
Pura Meru, Bali. Mesjid yang menghadap kiblat ini tidak dapat dipisahkan
 dari sejarah leluhur Kesultanan Pontianak. Kisah bermula dari empat 
pemuda di kota Trim, Hadral Maut, Yaman. 
Mereka satu perguruan 
mengaji. Suatu ketika sang guru menganjurkan kepada empat pemuda ini 
untuk merantau. ''Pergilah ke timur. Di sana banyak daerah subur dan 
pohon hijau,'' nasihat guru. Al Sayid Abubakar Idrus, Al Habib Husin 
Alkadri, Al Sayid Umar Husin Al Sagaf, dan Al Sayid Muhammad pun 
berangkat. Mereka mampir di Terengganu. Ternyata di daerah ini mereka 
berpisah, ada yang tinggal dan menyebarkan Islam di Terengganu, ada yang
 merantau ke negeri Siak, dan ada pula yang ke Aceh. Al Habib Husin 
pergi ke Aceh dan mengajar Rukun Islam dan Syari'ah di sana. Tidak lama 
kemudian, dia melanjutkan perantauannya ke Sunda Kelapa, lantas ke 
Semarang. 
Dua tahun kemudian, bersama Syeh Halim Hambal, Al 
Habib Husin berangkat ke negeri Tanjungpura atau Ketapang. Kedatangan 
ajaran Islam yang dia boyong menarik hati Raja Tanjungpura. Karena 
kebijaksanaan dan putusan-putusan Husin yang adil dan jujur, Raja 
Tanjungpura pun mengangkatnya sebagai Mufti Peradilan Agama dan Penyebar
 Syariat Agama Islam. 
Suatu ketika terjadi peristiwa yang 
membuat gundah Husin. Raja melangkahi putusan pengadilan tanggal 8 
Muharram 1160 Hijriah. Karena kecewa, Husin hijrah ke Mempawah. Dia 
diterima penguasa Kerajaan Mempawah, Opu Daeng Manambon, dan 
difasilitasi rumah dan surau untuk mengajar Islam di daerah Galah 
Hirang, Mempawah. 
Waktu bergulir, hubungan Husin dengan Raja 
Mempawah kian erat, apalagi setelah mereka berbesanan. Putra kedua 
Husin, Syarif Abdurrahman, menikah dengan putri Opu Daeng Manambon, Utin
 Tjendramidi. Seperti ayahnya, Syarif Abdurrahman hobi berkelana 
menyusur lautan. Dia berkunjung antara lain ke Pulau Tambelan, Pulau 
Siantan, Palembang, dan Banjar. 
Di Banjar Syarif menikah lagi 
dengan putri Sultan Saad, Ratu Syahramon. Oleh Sultan Saad, Syarif 
diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Sekembalinya Syarif 
dari Banjar, dia mendapati ayahnya, Al Habib Husin telah wafat. Syarif 
memutuskan meninggalkan Mempawah dan mencari pemukiman baru. Empat belas
 perahu rombongan Syarif menyusuri Sungai Kapuas menuju selatan. 
Di
 daerah yang dijuluki Kelapa Tinggi Segedong, penumpang menunaikan salat
 zuhur. Daerah tersebut kemudian dinamai Tanjung Dhohor. Perjalanan 
berlanjut. Kapuas waktu itu masih pekat oleh hijaunya hutan. Suatu saat 
rombongan melewati kawasan Batu Layang. Di sini, konon, mereka diganggu 
hantu-hantu pontianak (kuntilanak). Untuk memilih tempat barunya, Syarif
 menggunakan cara unik. Dia tembakkan peluru meriam sambil bertekad, di 
mana peluru jatuh, di sana akan dibangun kerajaannya. Peluru meriam 
ternyata mendarat di suatu titik di persimpangan Sungai Kapuas Kecil dan
 Sungai Landak. Di sinilah pertama-tama Syarif mendirikan Masjid Jami' 
Sultan Pontianak. 
Tiang pertama masjid tegak pada 14 Rajab 1185 H
 atau 23 Oktober 1771. Masjid Jami' inilah yang kemudian menjadi cikal 
bakal perkembangan Pontianak sebagai pusat religi dan kebudayaan Islam. 
Pontianak atau kuntilanak juga jadi pusat akulturasi kebudayaan Melayu, 
Jawa, Bugis, dan lainnya. Ini karena Pontianak terletak di daerah 
strategis dari sudut ekonomi, agraria, dan maritim. 
Pemukiman 
Syarif pun berkembang menjadi kota berikut daerah yang tergantung pada 
kota tersebut. Maka terbentuklah suatu kerajaan. Syarif dinobatkan 
sebagai sultan Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Ibnu Al 
Habib Husin Alkadri. 
Penobatannya dihadiri Raja Muda Riau, Raja 
Mempawah, Raja Landak, Raja Kubu, dan Raja Tanjungpura. Pada 5 Juli 1779
 VOC melakukan kontak pertama dengan Kerajaan Pontianak. Syarif 
Abdurrahman memerintah hingga 1808, kemudian digantikan putranya, Syarif
 Kasim. Estafet pemerintahan berdasarkan garis keturunan terus bergulir,
 dari Syarif Kasim (1808-1819) ke Syarif Oesman (1819-1855), lantas 
Syarif Hamid (1855-1872), Syarif Yoesoef (1855-1872), dan Syarif 
Muhammad. 
Pada pemerintahan Syarif Muhammad, Kerajaan Pontianak 
diserang penjajah Jepang. Raja wafat sebagai tawanan Jepang pada 
peristiwa berdarah Mandor, Juni 1944. Untuk mengisi kekosongan 
pemerintahan dinobatkanlah Syarif Thaha Alkadri bin Syarif Oesman 
sebagai raja. Lima tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia, atau 
tahun 1950, kerajaan Pontianak dihapuskan dan dilebur menjadi Provinsi 
Kalimantan Barat. Daerah ini menjadi pusat pemerintahan provinsi. Kini, 
semua kenangan itu bisa ditengok di istana yang terletak di cabang 
Kapuas dan Landak.
sumber 
Komentar [area]:

0 Comment [area]:
Posting Komentar