Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
About me Facebook Page Facebook Grup
Eramuslim Hidayatullah Arrahmah Voa Islam Underground Tauhid Khilafah.com Jihadwatch.org Islamcity.com
Jurnal Haji MakkahTv live Wisata Haji Media Haji Spirit Haji
Digital Haji Streaming Software Alharam-Nabawi Ceramah kristolog Ceramah Yahya waloni Purgatory: Beauty Lies Beneath Hiphop Native Deen Dialog Muallaf-Murtad Kajian Islam-kumpulan hadits qudsi DOWNLOAD GRATIS EBOOK ALQUR'AN DAN KITAB-KITAB PENGARANG TERKENAL FREE DOWNLOAD EBOOK KRISTOLOGI
Fakta [area] Kisah [area] Kritisi [area] Motivasi [area] Mukhasabah [area] Muslimska [area] Sejarah [area] Puisi [area] Samara [area]
23.9.12 | Minggu, September 23, 2012 | 0 Comments

Tatkala Suami [Harus] Mampu Memasak



Tatkala Suami [Harus] Mampu Memasak
MOONER [area]Sesungguhnya Islam telah mengatur kehidupan manusia dengan standar yang paripurna, menyeluruh (syamil), dan diletakkan atas dasar keadilan dan keseimbangan. Seperti yang terfirmankan dalam “Maka berbuatlah adil-lah karena keadilan mendekatkan kepada taqwa” (QS. Al Maidah: 8 ) dan “Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangannya” (QS. Ar Rahman : 9).
Jika bicara keadilan dan keseimbangan, maka kita kan bicara tentang hak dan kewajiban. Ada hak orang lain yang menjadi kewajiban kita yang harus kita tunaikan begitupun sebaliknya. Karena yang disebut adil adalah meletakan segala sesuatu sesuai dengan porsi atau haknya. Begitu pula dalam kehidupan berumah tangga, ada hak dan kewajiban yang harus dipahami dan ditunaikan satu dengan yang lain. Hak istri adalah kewajiban bagi suami dan hak suami adalah kewajiban bagi istri. Hunn libaasullakum wa antum libasullahun..

Terkadang ketidak mengertian tentang fungsi hak dan kewajiban suami istri inilah yang menjadikan prahara dalam rumah tangga. Karena satu dan yang lainnya saling berebut mencari pembenaran diri alias 'egois nggak mufakat', mana yang menjadi hak yang harus dipenuhi oleh pihak yang lain. Salah satunya adalah dalam urusan memasak. Ane bukanlah seorang penganut faham patriarkhi yang menganggap kaum lelaki lebih superior dibanding perempuan. Namun juga bukan seorang pendukung persamaan gender, yang menganggap setaranya lelaki dan perempuan. Tapi mencoba memandang dari kacamata Islam nan syamil wa mutakamil.

Back to point, tema memasak.. Mungkin sudah terstigma di masyarakat bahwa wanita atau istri harus bisa memasak, menyiapkan makanan untuk suami tercinta. Karena telah ada semacam tugas pokok dan fungsi bahwa peranan istri adalah 3UR (kasur, dapur dan sumur). Walaupun tidak sepenuhnya penilaian ini benar tidak pula salah. Terkadang karena telah terpersepsi bahwa perempuan itu harus bisa atau pandai memasak, maka akan menjadi 'tabu' ketika melihat seorang perempuan tak pandai memasak. Bahkan menjadi hal yang unik bin aneh juga ketika seorang laki-laki suka bereksperimen di dapur. Dianggapnya kurang jantan, kebanci-bancian, dan sebagainya. Padahal tidak demikian kan? Toh, di dunia profesional atau industri banyak kita temui para juru masak restoran berbintang lima atau para chef justru kebanyakan adalah kaum lelaki. Mungkin karena lelaki lebih memiliki ketahanan fisik untuk berlama-lama bekerja, atau mungkin juga karena lelaki memiliki ketahanan psikologis sehingga suasana hati yang berubah tidak mempengaruhi citarasa masakan (walau sebenarnya masakan itu harus pakai indera perasaan bukan cuma takaran).

Istri Harus Pandai Memasak?

Suatu ketika saudara sepupu ane pernah cerita, bahwa saat masih lajang ada salah satu rekannya sesama akhwat menikah. Beberapa jam setelah aqad nikah, salah satu rekan akhwat sepupu ane bertanya kepada suami temannya tersebut, “Akh, nanti mau dimasakin apa sama istri antum?” Dengan polos sang suami baru tadi menjawab “Ehm apa yah.. Mie instan saja dah..” Kontan saja istrinya tersebut agak sedikit cemberut. Pertanyaan yang tidak perlu dijawab seharusnya karena bagi sang istri mungkin itu suatu ledekan karena sang istri belom bisa memasak secara baik dan benar, hahay (kayak anak TK ya..).

But, Ane yakin sebenarnya para akhwat itu memiliki kemampuan dasar (otodidak) untuk memasak hanya saja kurang terkelola dan tergarap dengan baik karena seperti yang ane bilang sebelumnya, bahwa memasak itu erat kaitannya dengan indera perasaan, sedang secara naluriah setiap wanita itu disebut makhluk perasa sedang lelaki itu makhluq logika. 

Mungkin karena kurangnya sarana dan prasarana untuk memasak karena tinggal di kos-kosan atau mugkin rumah kontrakan, atau karena kesibukan aktivitasnya yang memakan waktu yang banyak (wanita karier) sehingga terkadang tidak sempat lagi untuk berbelanja dan memasak. Kira-kira seperti itulah yang banyak di'alibi'kan wanita pada umumnya. 
Tapi kemampuan memasak itu sebenarnya ada, dan kemapuan memasak adalah termasuk dalam skill yang harus dilatih secara continue bukan sesuatu yang given. Jadi kalau seseorang yang tidak bisa memasak terus berlatih  untuk bisa memasak pasti dia akan bisa memasak (apalagi bagi seorang wanita, karena bakat bawaan udah ada). Tapi seorang ibu rumah tangga yang sewaktu belum menikah bisa memasak namun ketika berkeluarga memiliki pembantu dan ia lebih sering meminta sang pembantu untuk memasak sementara dirinya jarang memasak, lambat laun keterampilannya memasak akan hilang binti aus wa Menopouse, hehehe..

Ikhwah fillah, Yuk Mari kita belajar dari salah 1 tokoh idola ane Umar bin Khaththab. Suatu ketika ada seorang lelaki mengadukan istrinya kepada Amirul Mukminin perihal istrinya yang cerewet dan galak. Namun ia tangguhkan, karena ia juga mendapati istri Amirul Mukminin juga seperti istrinya. Cerewet dan galak. “Adapun aku,” Umar pun menasehatkan pada si lelaki tersebut, “Aku tabah dan sabar menghadapi kenyataan itu karena ia telah menunaikan kewajiban-kewajiban dengan baik. Dialah yang memasak makananku, dialah yang membuatkan roti untukku, dialah yang mencuci pakaianku, dialah yang menyusui anak-anakku, padahal itu bukanlah kewajibannya sepenuhnya.”

Umar bin Khaththab adalah sahabat yang memiliki kekhasan lisannya yang apabila ia berbicara selalu mendapat pembenaran dari wahyu. Jadi cukuplah pesan dari Umar Ibn Khaththab tadi menjadi "dalil" bahwa istri tidak diwajibkan sepenuhnya untuk bisa memasak, yah minimal tahu teorinya, kalau tidak ya kebangetan..Apalagi di jaman internet gini..alangkah naifnya jika nggak tau teori memasak walau itu sekedar goreng tempe atau sekedar bikin kelepon, hohoho....

Suami [Harus] Mampu Memasak

Nah kita kembali pada konsep keadilan dan keseimbangan. Jika, tadi kita telah menelisik kewajiban istri yang pandai memasak, ternyata bukanlah hal yang wajib sepenuhnya, berarti yang mendapat kewajiban memasak adalah para suami. 
Hmm..., silent plizzz bapak-bapak jangan emosi dulu, kita bedah satu per satu yaah.. Pertama, dari sisi definisi nafaqah. Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan definisi nafaqah adalah mencukupi segala kebutuhan istri yang mencakup makanan, tempat tinggal, pelayanan dan obat-obatan, meskipun dia orang kaya. Hukum memberikan nafkah adalah wajib berdasarkan Qur’an, Hadits, dan Ijma’.

Dalam kaidah ushul fiqh yang ane kutip dari kitab Syaikh Utsaimin 'Al Ushul min ‘Ilmil Ushul' didapati sebuah kaidah, bahwa bila sesuatu yang terhukumi wajib tidak akan sempurna jika tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu terhukumi wajib juga. Maa laa yatimmu al waajibu illaa bihi fa huwa waajib atau dalam kaidah yang lebih umum Al wasa’ilu laha ahkamul maqhosid. Sarana itu mempunyai hukum yang sama dengan tujuan. Jadi bila memberikan nafaqah kepada istri adalah sebuah bentuk kewajiban. Dan memberikan makanan kepada istri adalah bentuk nafkah juga yang berarti terhukumi sebagai kewajiban.

Nah masalahnya, makanan tidak akan ada bila tidak melalui proses pengolahan atau pemasakan. Tidak mungkin kan, istri kita berikan beras lalu dia memakannnya, emang istri kita ayam apa? Tentulah beras tersebut harus diolah terlebih dahulu menjadi nasi, dan makan nasi tanpa lauk pauk dan sayur juga rasanya aneh, maka perlu juga mengolah sayur dan lauk-pauk sebagai teman nasi. Barulah nasi tadi di santap oleh istri kita. Kalau demikian memberikan makan kepada istri atau pemberian nafkah tadi yang merupakan kewajiban itu, menjadi belum sempurna bila tidak dibarengi oleh kemampuan mengolah masakan, hayooo mau ngelak gimana lagi bapak-bapak??
Padahal dalam kaidah ushul fiqh dijelaskan bahwa sesuatu yang wajib namun tidak akan sempurna bila tidak adanya sesuatu yang lain dan menjadikan sesuatu yang lain itu wajib terhukumi wajib juga. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa seorang suami wajib memiliki skill untuk memasak juga (sekalipun cuma sekedar menanak nasi), untuk menyempurnaan kewajibannnya menafkahi istri. 
Tapi tenang, setiap yang wajib pasti ada rukhshah (keringanan) bila ada udzur. Setiap yang wajib pasti ada keringanan untuk menjalaninya. Dan Allah tidak menghendaki kesukaran justru menghendaki kemudahan bagi hamba-hambaNya, Allah pun tidak akan membebani hamba melebihi kemampuannya. Jadi asalkan sudah terniati insya Allah sudah berpahala, selanjutnya akan lebih romantis ketika suami dan istri saling belajar bersama untuk memasak, apalagi disempatinlah walau cuma seminggu sekali untuk memasak bersama, apalagi di internet sekarang resep banyak berkeliaran, jadi jangan takut untuk kehilangan ide untuk memasak.
Jadi tidak perlu risau ketika mendapati istri kita tidak pandai memasak, karena kita pada dasarnya menikah untuk mencari istri bukan mencari tukang masak, tapi kalau emang niat nyari yang pinter masak nikahi aja wanita yang punya warung, bukan begitu?
Tapi bagi wanita yang kebetulan membaca postingan kali ini jangan besar kepala dulu, antum harus ingat surga antum itu ada 'dikaki suami', jadi nggak ada salahnya donk bantu dikit-dikit suamimu yang banting tulang cari rezeki Allah untuk menafkahimu, sekalipun membantunya dengan makanan yang 'keasinan', hehehe....
Wallahu a’lam bishawab.

0 Comment [area]:

 
[muslimska]MOONER area © 2010 - All right reserved - Using Copyright: hanya mutlak Punya Allah SWT
WARNING: keseluruhan isi blog ini free copy paste tanpa perlu izin penulis..Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu akbar