Manusia adalah mahluk yang diciptakan Allah dengan sebaik-baik bentuk (QS. At-tin [95] : 4).
Namun, apakah dengan keistimewaan yang dimiliki manusia mampu menjelaskan dengan tepat apa yang paling ditakutinya?
Jika muslim, maka jawabannya pasti mampu. Karena Islam sebagai agama yang menuntun penganutnya menuju kehidupan yang abadi di surga, sejak awal telah menjelaskan apa yang seharusnya ditakuti manusia di dunia ini. Meski umat Islam sendiri kurang mempersiapkan diri, padahal yang menakutkan tersebut senantiasa mendekatinya.Rasulullah Saw bersabda, “Dua perkara yang tidak ditakuti anak Adam. Yaitu, mati, padahal mati itu lebih baik dari fitnah (cobaan) dan harta yang sedikit, padahal harta yang sedikit adalah meringankan hisab.” (HR. Ahmad)
Kematian dan sedikit harta yang paling ditakuti manusia secara umum. Namun berbeda dengan Rasulullah SAW. Sebagai ustawatun hasanah, ia tak pernah takut, cemas dan gelisah dengan kedua hal tersebut. Ia kerap menunjukkan kepada umatnya seperti apa persiapan yang dilakukannya untuk menjumpai dua hal tersebut.
Pertama, Kematian. Menurut Rasulullah, kematian lebih baik dari cobaan atau fitnah. Alasannya, karena kematian bisa memutuskan manusia dari dosa. Artinya, ia tidak akan menambah ‘komposisi’ dosa-dosanya. Sedangkan cobaan bisa menjadi peluang untuk memposisikannya terus menerus dalam kondisi berdosa dan terus berdosa. Karena tak sedikit orang mengeluh dan bahkan mencaci Allah SWT. saat ia mengalami ujian atau cobaan. Semakin lama manusia hidup semakin banyak cobaan yang akan dihadapinya. Karena Allah SWT. telah menjelaskannya di dalam al-Qur’an, “Apakah manusia mengira dibiarkan begitu saja setelah mereka berkata: ‘kami beriman’. Sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-‘Ankabuut: 2)
Selain itu, kematian juga menjadi peluang bagi manusia untuk tidak lagi menuruti hawa nafsu. Karena sudah jamak diketauhi, hawa nafsu senantiasa membayangi manusia untuk terus berbuat dosa. Ia selalu menyelipkan sifat iri, dengki dan segala jenis pikiran negatif dalam diri manusia. Maka wajar sekali jika Ali bin thalib menyatakan, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan pada kalian adalah dua perilaku. Yaitu, menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Karena menuruti hawa nafsu bisa menyimpang dari kebenaran. Sedangkan panjang angan-angan mewariskan kecintaan terhadap dunia.”
Cukup tepat Aid al-Qarni menuliskan di dalam kitabnya “Wa Ja at Sakratul Maut”, salah satu langkah untuk senantiasa mengingatkan manusia akan kematian adalah dengan rajin melakukan ziarah kubur. Karena ziarah kubur bisa mengingatkan manusia bahwa apa yang dituntut oleh hawa nafsu ternyata tak akan mengiringi dan menemaninya saat berada di dalam kubur. Jadi, ziarah kubur tak hanya berorientasi pada membaca ayat-ayat suci al-Qur'an untuk si mayit saja, tapi juga menjadi terapi bagi penziarah untuk tidak menuruti hawa nafsu.
Adalah Fatimah binti Rasulullah SAW. kerap mengunjungi makam pamannya, Hamzah, setiap hari Jumat. Ia tak hanya membacakan tilawah untuk pamannya, tetapi juga untuk menggagas diri supaya selalu menyiapkan bekal jika kematian menghampiri. Karena Allah SWT berfirman, “Setiap umat memiliki ajal. Apabila ajalnya telah datang, mereka tidak dapat mengundurkannya sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya.” (QS. Al-A’Araaf: 34)
Dengan rajin ziarah, Fatimah ra. menjadi paham akan hakikat hidup ini. Ia nyaris seperti Rasulullah SAW. yang menjadikan dunia ini sebagai ladang amal. Sehingga Aisyah, isteri Rasulullah SAW. memuji Fatimah dengan mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang cara bicara dan jalannya paling mirip dengan Rasulullah SAW. selain Fatimah.”
Kedua, harta yang sedikit. Inilah ketakutan yang kerap dialami manusia. Padahal, semakin banyak harta yang dimiliki semakin besar pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Rasulullah Saw. bersabda, “Kaki seorang hamba tidak akan melangkah pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya, bagaimana ia menghabiskannya? Tentang ilmunya, apa yang diamalkannya? Tentang harta bendanya, dari mana ia mendapatkannya dan ke mana ia menafkahkannya?
Dan, tentang badannya, apa yang telah dikerjaannya?
Bila dirujuk dalam kehidupan Rasulullah SAW., ia juga termasuk orang yang memiliki harta sedikit. Namun, Rasulullah SAW. bukan miskin. Saat ia memiliki harta ia segera menafkahkannya dengan cara bersedekah kepada orang-orang miskin. Cukup ironi jika ada yang mengklaim Rasulullah suka hidup miskin. Rasulullah hanya suka hidup bersama orang miskin, tapi beliau sama sekali tidak miskin.
Andaikata Rasulullah diklaim suka hidup miskin, maka akan bertentangan dengan doanya
yang senantiasa dibacanya, “Ya Allah, aku memohon petunjuk, ketakwaan, kesucian dan kekayaan kepada-Mu”. Jadi, tidak benar vonis yang menyatakan bahwa Rasulullah miskin. Ia adalah orang kaya. Ia selalu memberikan apa yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya. Sehingga ia kelihatan seperti tak memiliki apa-apa, padahal ia memiliki.
yang senantiasa dibacanya, “Ya Allah, aku memohon petunjuk, ketakwaan, kesucian dan kekayaan kepada-Mu”. Jadi, tidak benar vonis yang menyatakan bahwa Rasulullah miskin. Ia adalah orang kaya. Ia selalu memberikan apa yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya. Sehingga ia kelihatan seperti tak memiliki apa-apa, padahal ia memiliki.
Rasulullah SAW. juga mengajarkan kepada umatnya, bahwa dengan harta yang sedikit kelak ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban yang besar. Karena hartanya yang banyak senantiasa dinafkahnya dengan memberikan kepada orang yang membutuhkan. Selain itu, Rasulullah SAW. juga mengajari bagaimana menjadi orang yang bersyukur. Yaitu, yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Allah melalui firman-Nya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka pasti azb-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 7)
Karena itu, tak layak bagi muslim untuk berada dalam posisi ketakutan saat membincang masalah kematian dan kekurangan harta. Karena keduanya pasti akan dialami. Kematian pasti akan mendatangi kita. Kekurangan harta juga akan menjemput kita, jika Allah mencabut hak milik harta tersebut dari diri kita. Walhasil, marilah persiapkan diri untuk menghadapi segala hal yang awalnya menakutkan kita, tapi hakikatnya menyelamatkan kita.
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar