"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim [66] : 6).
Allah SWT dalam Al-Qur'an surat At-Tahrim ayat enam di atas memberikan perintah kepada kita untuk menjaga seluruh anggota keluarga dari azab api neraka. Setidaknya ada dua hal yang harus kita perhatikan berkaitan dengan perintah Allah tersebut.
ilustrasi |
Pertama, menjaga diri. Sebagai pribadi kita harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita kepada Allah SWT di akhirat kelak. Semua amal perbuatan yang baik dan buruk akan dihisab oleh Allah SWT. Bila banyak melakukan amal shaleh, maka insya Allah surga ganjarannya. Sebaliknya, jika lebih banyak berbuat dosa, tentu neraka akan jadi balasannya.
Kedua, menjaga keluarga (wa ahlikum). Bagi seorang Muslim yang telah berkeluarga, maka ia pemimpin di keluarganya. Sebagai pemimpin, maka kita harus memberikan keteladanan dalam segala hal. Kita harus mendidik anak dan isteri agar menjadi Muslim/Muslimah yang taat kepada Allah SWT.
Keshalehan orangtua akan menjadi jalan kebaikan bagi keturunannya. Dalam surat Al-Kahfi diceritakan tentang Nabi Khidir AS saat ditanya oleh Nabi Musa AS yang mengambil upah dari memperbaiki rumah yang hampir runtuh. Jawabannya, "Kaana Abuuhumaa Shaalehaa," artinya "Ayahnya seorang yang shaleh."
Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman,
"Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah Aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi [18] : 82).
Ayat itu menyiratkan mengenai keterkaitan antara orangtua dengan sikap anaknya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang ia yang akan berbicara pada mereka di hari kiamat, tidak akan berbicara pada mereka, dan tidak akan melihat mereka." Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Mereka adalah orang yang tidak mau peduli dengan orangtuanya, membenci keduanya, dan tidak mau peduli kepada anaknya." (HR. Ahmad dan Ath-Tabrani).
Maksud hadits tersebut, hubungan kita dengan orangtua berkorelasi kepada sikap anak kita kepada kita. Jika kita sebagai orangtua selalu mengajarkan keshalehan kepada anak, maka akan diikuti oleh anak kita dan hal itu akan menjadi jariah dari amal kita. Sebaliknya, jika kita banyak memberi contoh keburukan kepada anak, bukan tidak mungkin anak kita menjadi orang yang berperilaku buruk.
Anak dapat menjadi jalan terselamatkannya kita dari api neraka dengan do'a-do'anya sekalipun kita sudah meninggal dunia. Sabda Nabi SAW,
"Apabila meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara : Shadaqah yang mengalir, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo'akan kedua orangtuanya."
Begitu pula jika anak melakukan amal shaleh karena petunjuk kita, maka kita pun akan kecipratan pahalanya. Sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala kebaikan itu sebanding dengan yang mengerjakannya."
Sebuah keluarga yang dikumpulkan Allah di surga-Nya akan mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan yang abadi. Keluarga yang dikumpulkan Allah di surga-Nya kelak tentu bukan sembarang keluarga. Karenanya, kita harus berupaya menjadi pribadi yang shaleh, menjadi pemimpin yang taat bagi keluarga, dan menjadi Muslim yang bermanfaat bagi masyarakat. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang beriman serta anak cucu mereka mengikuti keimanan mereka, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka." (QS. At-Thur [52] : 21).
Keberadaan orangtua yang shaleh dapat menjadi jalan anak dan cucunya (keluarganya) masuk ke surga, demikian Ibnu Abbas mengomentari ayat di atas. Alangkah indahnya jika kita kelak dapat berkumpul bersama-sama keluarga di surga. Jadikan dunia sebagai sarana untuk mewujudkannya. Jangan sampai dunia dijadikan tujuan utama.
Wallahu a'lam bishshawwab.
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar