Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
About me Facebook Page Facebook Grup
Eramuslim Hidayatullah Arrahmah Voa Islam Underground Tauhid Khilafah.com Jihadwatch.org Islamcity.com
Jurnal Haji MakkahTv live Wisata Haji Media Haji Spirit Haji
Digital Haji Streaming Software Alharam-Nabawi Ceramah kristolog Ceramah Yahya waloni Purgatory: Beauty Lies Beneath Hiphop Native Deen Dialog Muallaf-Murtad Kajian Islam-kumpulan hadits qudsi DOWNLOAD GRATIS EBOOK ALQUR'AN DAN KITAB-KITAB PENGARANG TERKENAL FREE DOWNLOAD EBOOK KRISTOLOGI
Fakta [area] Kisah [area] Kritisi [area] Motivasi [area] Mukhasabah [area] Muslimska [area] Sejarah [area] Puisi [area] Samara [area]
10.1.12 | Selasa, Januari 10, 2012 | 0 Comments

YANG SIRRI YANG KHALAL



Perdebatan nikah siri sedang marak di berbagai media masa seiring dengan adanya upaya legalisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (baca : RUU Nikah Siri). Sadar atau tidak media ikut membentuk pencitraan buruk pelaku nikah siri. Oleh karema itu sebelum melontarkan istilah nikah siri, kiranya kita perlu memperjelas definisi atau fakta nikah siri yang dimaksud.
Terdapat berbagai realita nikah siri dalam masyarakat :

Pertama, pernikahn sah secara agama, namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Pernikahan yang terjadi sudah memenuhi ketentuan agama, misalnya: menghadirkan 2 saksi adil, wali perempuan, adanya calon mempelai dan ijab qabul. Banyak faktor yang menyebabkan warganegara tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya (tidak mampu membayar administrasi pencatatan), urusan administrasi jlimet berbelit-belit, takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu dan lain sebagainya.


Kedua, nikah siri didefinisikan pernikahan tanpa wali. Pernikahan seperti ini dilakukan rahasia karena tidak adanya persetujuan wali perempuan atau sering disebut kawin lari. Nikah mu’thah (kawin kontrak) masuk dalam kategori ini. Pernikahan semacam ini hanya untuk memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentua syariat Islam. Di beberapa kasus malah dijadikan sebagai ajang perzinahan komersiil terselubung.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya, karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan sulit lain, sehingga terpaksa dirahasiakan.
Dengan memahami realita pernikahan siri diharapkan muncul pemecahan yang tepat, bijak, solutif, dan melegakan semua pihak. Pada kasus pernikahan siri yang sah secara agama, namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara, maka perlu dikaji lebih dalam. Secara aspek pernikahan siri-nya sah dan halal menurut agama Islam. Orang yang melakukannya tidaklah berdosa atau bermaksiat kepada Allah. Oleh karena itu, tidaklah sepantasnya negara memberikan sangsi berupa denda membayar sejumlah uang atau dipenjara kepada seseorang yang sedang menjalankan ibadah sesuai agamanya dalam ikatan pernikahan sah. Kita hendaknya meninjau faktor yang menyebabkan orang tersebut tidak atau belum mencatatkan ke lembaga pencatatan sipil. Harapannya, kebijakan aturan pencatatan sipil kian mempermudah orang yang sedang menjalankan ibadah agama, bukan mempersulit.
Secara agama, istri-istri dan anak-anak hasil dari pernikahan sah secara agama tetap berhak mendapatkan nafkah dan warisan (hak-haknya). Suami wajib melaksanakan kewajibannya selayaknya pernikahan yang dicatat di kantor sipil. Pemerintah mustinya menetapkan kebijakan yang tidak menghalangi anak atau istri yang menikah sah secara agama untuk mendapatkan hak-haknya. Kebijakan tersebut diantaraya: memurahkan biaya pencatatan pernikahan, tidak menjadikannya sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan tidak menjadikan surat nikah sebagai satu-satunya bukti pernikahan yang diakui negara.
Jika seseorang keberatan dalam biaya, sudah seharusnya negara memurahkan dan memudahkan urusan catatan sipil, bahkan sekiranya bisa digratiskan. Biaya administrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) saat ini Rp 30 ribu. Tarif pengurusan ini kian membengkak dengan adanya praktik pencaloan. Sedangkan biaya pernikahan di luar kantor KUA bisa mencapai Rp 1 juta tergantung jauh dekat rumah si mempelai dan besarnya sumbangan yang ditetapkan pemerintah daerah setempat. Pendapatan dari biaya pernikahan di luar kantor KUA (nikah bedolan di rumah mempelai) masuk dalam PNBP. Hal ini diatur dalam PP no 51 Tahun 2001.Bagi orang miskin, biaya ini sangat memberatkan. Jangankan mngurus surat nikah, membuat kelengkapan adminitrasi lain seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun kadang tidak mampu.
Dengan tidak menetapkan surat nikah sebagai satu-satunya alat bukti, maka pernikahan tanpa surat nikah juga berarti tetap sah dan dilindungi negara. Kiranya dua orang saksi nikah dapat juga dijadikan bukti. Tinggal bagaimana pemerintah membuat mekanisme lain yang mempermudah administrasi warganya.
Surat nikah menjadi satu-satunya alat bukti pernikahan juga mempunyai kelemahan. Misalnya, ketika suami mentalak tiga kali pada istrinya di luar pengadilan maka secara agama telah sah bercerai. Namun ketika ada sengketa waris atau anak, karena kedunya masih memegang surat nikah, salah satu pihak bisa mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan sah dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara agama benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah.
Terkait poligami, meski diperdebatkan pelaksanaannya, agama Islam tidak melarang atau mengharamkannya. Untuk meminimalisasi nikah siri dengan alasan poligami di tengah masyarakat, pemerintah dapat menetapkan kebijakan yang mendorong kaum adam memenuhi kewajibannya pada semua istri-istri maupun anak-anaknya secara adil.
Negara dapat mengakui secara legal keberadaan istri-istri lain dan anak-anak hasil hubungan dalam ikatan pernikahannya. Sebab, hak-hak istri-istrinya dan anak-anaknya sama serta setara dalam agama, tanpa mempertimbangkan istri pertama, kedua atau lainnya.
Ada pun pernikahan siri seperti mu’thah atau kontrak tanpa persetujuan wali asli perempuan atau pernikahan tidak sah secara agama, pemerintah dapat melarangnya dan menjatuhi sangsi berupa denda atau penjara kepada pelaku dan sindikatnya. Pernikahan seperti inilah sebenarnya yang merugikan dan merendahkan martabat perempuan.
Disamping ketiadaan perlindungan jaminan pemenuhan hak-hak istri dan anaknya. Perempuan yang menjadikan pernikahan siri ini sebagai mata pencarian maka negara mencarikan solusi jitu lain. Negara hendaknya bisa membantu memberikan pelatihan, dan modal untuk membuka usaha secara halal. Pemberian pinjaman modal tanpa jaminan dengan sistem bagi hasil atau pemberian cuma-cuma kiranya bisa dijadikan alternatif.
Hal terpenting yang dilakukan pemerintah yakni melakukan upaya penyadaran kepada umat beragama mengenai hak dan kewajiban untuk melaksanakan ajaran agama sebaik-baiknya. Upaya penyadaran ini dapat memanfaatkan media masa, kurikulum pendidikan dan sebagainya. Alangkah eloknya suasana yang terbangun dari kesadaran sosial umat beragama. Tentu akan memperingan tugas negara dalam melayani warga negaranya.

0 Comment [area]:

 
[muslimska]MOONER area © 2010 - All right reserved - Using Copyright: hanya mutlak Punya Allah SWT
WARNING: keseluruhan isi blog ini free copy paste tanpa perlu izin penulis..Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu akbar