Pada dasarnya, hukum berhutang adalah mubah (boleh). Meskipun demikian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada kita do’a untuk berlindung dari lilitan hutang. Nabi mengajarkan do’a berikut ini :
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekhawatiran (terhadap musibah yang akan menimpa), dari rasa sedih (terhadap musibah yang telah menimpa), dari lemah,malas, pelit, sifat penakut, dililit hutang dan dari paksaan para laki-laki (yang zhalim). (HR. al-Bukhari no.6369)
‘Aisyah RadhiyahAllahu ‘Anha pernah berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, alangkah sering engkau berlindung dari berhutang!” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab :
sesungguhnya orang yang dililit hutang jika berkata ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari (HR. an-Nasa’i ) [1]
hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak mudah berhutang,karena jika seseorang mudah berhutang, cepat atau lambat hutang akan melilitnya, dan pada gilirannya nanti akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti berbohong dan mengingkari janji ketika ditagih, atau yang lebih ditakutkan lagi- ketidakmampuan melunasi hutang tersebut sampai ajal datang, padahal jiwa seseorang yang meninggal akan digantung nasibnya lantaran hutangnya yang belum terbayar. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
jika seseorang digantungkan sebab hutangsampai hutang tersebut terbayar . (HR.at-Tirmidzi)[2]
pada riwayat yang lain, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
barangsiapa yang meninggal dunia dan ia bersih dari tiga perkara, dari kesombongan, khianat dan hutang, maka ia akan masuk surga. (HR. Ibnu Majah)[3]
tidak semua orang bisa menghindari berhutang, karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memberikan tuntutan bagi mereka yang berhutang agar mereka selamat di dunia maupun di akherat sebagai berikut :
*. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan bahwa orang yang berhutang berkewajiban mengembalikan uang pinjaman tersebut,karena uang piknjaman termasuk amanat yang harus dikembalikan kepada orang yang menghutangi, dan barang siapa yang tidak mau mengembalikan pinjaman tersebut, maka ia berdosa dan mendapat ancaman. Jika ia mati, maka dosa tersebut tidak diampuni oleh Allah ‘Azza wa jalla, meskipun orang mati tersebut mati syahid, sampai hutang tersebut terbayar atau direlakan oleh sipemberi hutang, sebagaimana terutang dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
Orang yang mati syahid, semua dosanya akan diampuni oleh Allah kecuali hutang. (HR. Muslim no.1886)
Pada riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memberikan ancaman bagi orang yang tidak mau membayar hutang, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berhutang) dengan tujuan ingin mengembalikan, maka Allah akan memudahkan pembayarannya, dan barangsiapa yang mengambilnya, dengan tujuan untuk tidak mengembalikannya, maka Allah akan membinasakannya. (HR. al-Bukhari no.2387)
*. Jika yang berhutang telah mempunyai apa yang akan ia bayarkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkannya untuk segera melakukan pembayaran, tidak menunda-nundanya. Sebab, menunda-nunda pembayaran, padahal ia mampu membayarnya, hal itu merupakan kezhaliman. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
Penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu merupakan kezhaliman. (HR. al-Bukhari no.2400)
*. Dalam urusan melunasi hutang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan untuk mengembalikan hutang dengan cara yang baik. RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya termasuk orang pilihan yaitu orang yang paling baik ketika membayar hutang (HR. al-Bukhari no.2392)
Dan di antaracara yang baik dalam mengembalikan hutang adalah:
*. Tepat waktu dalam membayar hutang sesuai dengan janji (kesepakatan) yang telah ditentukan. Termasuk ciri orang yang beriman, apabila berjanji menepatinya, dan sebaliknya jika seseorang tidak menepati janjinya serta mengabaikannya begitu saja, ini termasuk karakter orang munafik.
Jika kesulitan keuangan sehingga menyebabkan terlambat dalam mengembalikan, maka sebelum jatuh tempo pembayaran, hendaknya ia meminta ijin kepada yang menghutangi agar diberi kelonggaran dalam pelunasan hutang.
*. Berterima kasih kepada si pemberi hutang, karena dia telah membantunya. Sikap seperti ini termasuk bentuk syukurkepada Allah ‘Azza wa jalla, sebagaimanasabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia [4]
*. Melebihkan pembayaran hutang.
Jika orang yang berhutang mampu, maka dianjurkan untuk membayar hutang tersebut dengan melebihkannya sebagai bentuk balas budi kepada si pemberi hutang, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jabir RadhiyahAllahu ‘Anhu bercerita : “… Waktu itu, aku mempunyai piutang yang harus beliau bayar. Beliau membayar hutang tersebut dan bahkan melebihkannya (pembayarannya). (HR. al-Bukhari no.2394)
Tentunya, hal ini diperbolehkan bila atas inisiatif pihak yang berhutang, bukan atas dasar permintaan pemberi hutang atau kesepakatan sebelumnya, hal ini karena akan menyebabkan terjadinya praktek riba.
*. Mendoakan si pemberi hutang.
Jika yang berhutang tidak mampu untuk melebihkan pembayarannya, maka disunnahkan baginya mendoakan si pemberi hutang sebagai bentuk balas budi kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
Dan siapa yang telah berbuat baik kepadamu, maka balaslah dengan hal yang sama, jika kamu tidak mampu, makadoakanlah dia, sehingga kamu terlihat telah membalas kebaikannya. (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad).[5]
*. Orang yang berhutang –jika ia benar-benar tidak mampu- boleh untuk meminta keringanan atau pembebasan hutang dari si pemberi hutang, seperti yang pernah dilakukan Sahabat Jabir RadhiyahAllahu ‘Anhu.
Bapaknya ketika meninggalkan dunia, menyisakan hutang yang banyak dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Setelah permintaannya untuk dibebaskan dari pelunasan hutangnya ditolak oleh para pemilik piutang, ia pun menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar berkenan menjadi perantara untuk memintakan pembebasan hutang dari mereka. [6] Wallahu a’lam
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekhawatiran (terhadap musibah yang akan menimpa), dari rasa sedih (terhadap musibah yang telah menimpa), dari lemah,malas, pelit, sifat penakut, dililit hutang dan dari paksaan para laki-laki (yang zhalim). (HR. al-Bukhari no.6369)
‘Aisyah RadhiyahAllahu ‘Anha pernah berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, alangkah sering engkau berlindung dari berhutang!” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab :
sesungguhnya orang yang dililit hutang jika berkata ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari (HR. an-Nasa’i ) [1]
hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak mudah berhutang,karena jika seseorang mudah berhutang, cepat atau lambat hutang akan melilitnya, dan pada gilirannya nanti akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti berbohong dan mengingkari janji ketika ditagih, atau yang lebih ditakutkan lagi- ketidakmampuan melunasi hutang tersebut sampai ajal datang, padahal jiwa seseorang yang meninggal akan digantung nasibnya lantaran hutangnya yang belum terbayar. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
jika seseorang digantungkan sebab hutangsampai hutang tersebut terbayar . (HR.at-Tirmidzi)[2]
pada riwayat yang lain, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
barangsiapa yang meninggal dunia dan ia bersih dari tiga perkara, dari kesombongan, khianat dan hutang, maka ia akan masuk surga. (HR. Ibnu Majah)[3]
tidak semua orang bisa menghindari berhutang, karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memberikan tuntutan bagi mereka yang berhutang agar mereka selamat di dunia maupun di akherat sebagai berikut :
*. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan bahwa orang yang berhutang berkewajiban mengembalikan uang pinjaman tersebut,karena uang piknjaman termasuk amanat yang harus dikembalikan kepada orang yang menghutangi, dan barang siapa yang tidak mau mengembalikan pinjaman tersebut, maka ia berdosa dan mendapat ancaman. Jika ia mati, maka dosa tersebut tidak diampuni oleh Allah ‘Azza wa jalla, meskipun orang mati tersebut mati syahid, sampai hutang tersebut terbayar atau direlakan oleh sipemberi hutang, sebagaimana terutang dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
Orang yang mati syahid, semua dosanya akan diampuni oleh Allah kecuali hutang. (HR. Muslim no.1886)
Pada riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memberikan ancaman bagi orang yang tidak mau membayar hutang, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berhutang) dengan tujuan ingin mengembalikan, maka Allah akan memudahkan pembayarannya, dan barangsiapa yang mengambilnya, dengan tujuan untuk tidak mengembalikannya, maka Allah akan membinasakannya. (HR. al-Bukhari no.2387)
*. Jika yang berhutang telah mempunyai apa yang akan ia bayarkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkannya untuk segera melakukan pembayaran, tidak menunda-nundanya. Sebab, menunda-nunda pembayaran, padahal ia mampu membayarnya, hal itu merupakan kezhaliman. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
Penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu merupakan kezhaliman. (HR. al-Bukhari no.2400)
*. Dalam urusan melunasi hutang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan untuk mengembalikan hutang dengan cara yang baik. RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya termasuk orang pilihan yaitu orang yang paling baik ketika membayar hutang (HR. al-Bukhari no.2392)
Dan di antaracara yang baik dalam mengembalikan hutang adalah:
*. Tepat waktu dalam membayar hutang sesuai dengan janji (kesepakatan) yang telah ditentukan. Termasuk ciri orang yang beriman, apabila berjanji menepatinya, dan sebaliknya jika seseorang tidak menepati janjinya serta mengabaikannya begitu saja, ini termasuk karakter orang munafik.
Jika kesulitan keuangan sehingga menyebabkan terlambat dalam mengembalikan, maka sebelum jatuh tempo pembayaran, hendaknya ia meminta ijin kepada yang menghutangi agar diberi kelonggaran dalam pelunasan hutang.
*. Berterima kasih kepada si pemberi hutang, karena dia telah membantunya. Sikap seperti ini termasuk bentuk syukurkepada Allah ‘Azza wa jalla, sebagaimanasabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia [4]
*. Melebihkan pembayaran hutang.
Jika orang yang berhutang mampu, maka dianjurkan untuk membayar hutang tersebut dengan melebihkannya sebagai bentuk balas budi kepada si pemberi hutang, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jabir RadhiyahAllahu ‘Anhu bercerita : “… Waktu itu, aku mempunyai piutang yang harus beliau bayar. Beliau membayar hutang tersebut dan bahkan melebihkannya (pembayarannya). (HR. al-Bukhari no.2394)
Tentunya, hal ini diperbolehkan bila atas inisiatif pihak yang berhutang, bukan atas dasar permintaan pemberi hutang atau kesepakatan sebelumnya, hal ini karena akan menyebabkan terjadinya praktek riba.
*. Mendoakan si pemberi hutang.
Jika yang berhutang tidak mampu untuk melebihkan pembayarannya, maka disunnahkan baginya mendoakan si pemberi hutang sebagai bentuk balas budi kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
Dan siapa yang telah berbuat baik kepadamu, maka balaslah dengan hal yang sama, jika kamu tidak mampu, makadoakanlah dia, sehingga kamu terlihat telah membalas kebaikannya. (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad).[5]
*. Orang yang berhutang –jika ia benar-benar tidak mampu- boleh untuk meminta keringanan atau pembebasan hutang dari si pemberi hutang, seperti yang pernah dilakukan Sahabat Jabir RadhiyahAllahu ‘Anhu.
Bapaknya ketika meninggalkan dunia, menyisakan hutang yang banyak dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. Setelah permintaannya untuk dibebaskan dari pelunasan hutangnya ditolak oleh para pemilik piutang, ia pun menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar berkenan menjadi perantara untuk memintakan pembebasan hutang dari mereka. [6] Wallahu a’lam
Footnote :
[1] HR. an-Nasa’i dan dishahihkan al-Albani.
[2] HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albani
[3] HR. Ibnu Majah no.2412. Lihat ash-shahihah no.2785
[4] Lihat ash-Shahihah no.416
[5] Lihat ash-Shahihah no.254
[6] Silahkan lihat kisah lengkapnya pada Shahih al-Bukhari no.2405
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar