Mooner[area]- Dulu pada zaman Khalifah Harun ArRasyid –salah satu khalifah masyhur dari Bani Abbasiyyah yang banyak kalangan kenal termasuk kita karena kepandirannya padahal nggak demikian adanya.
Ane kutip dikit nih sejarah singkat HARUN ARRASYID sebelum kita masuk topik utama yaitu tentang Abu Nawas. Langsung aja ya:
Daulah Bani Abbasiyah: Harun Ar-Rasyid, Sang Pembangun Peradaban
Harun Ar-Rasyid (786-809 M) adalah khalifah kelima Daulah Abbasiyah. Ia dilahirkan pada Februari 763 M. Ayahnya bernama Al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah, dan ibunya bernama Khaizuran.
Masa kanak-kanaknya dilewati dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan. Guru agamanya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaki.
Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M, pada usianya yang cukup muda, 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid (penasehat) dan empat putranya.
Daulah Abbasiyah bisa dikatakan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid karena pada masa kekuasaaanya itu ilmu-ilmu sangat mengalir deras, terutama sastra, salah satu yang paling masyhur hingga sekarang yakni kisah 1001 malam (tapi kisah didalamnya masih original atau sudah di pleset-plesetkan ane nggak tau)
Harun Arrasyid adalah seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya (gaya blusukan yang sudah jadi trademark pemimpin muslim sejak jaman Nabi). Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.
Pada masa itu, Baghdad (pusat pemerintahan) ingin dijadikannya mercusuar kota impian 1.001 malam (bukan dongeng) yang tiada tandingannya di dunia pada abad pertengahan, kita bisa sedikit raba-raba detailnya seperti digambarkan di film alladin. Daulah Abbasiyah pada masa itu, mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa, baik didarat dan lautan.
Khalifah Harun Ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat khusus terhadap ilmuwan dan budayawan (makanya embrio era-era sufi/tassawuf/penyair kontemporer lahir diera itu) . Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya, Yahya Al-Barmaki juga merupakan gurunya Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam (Syirk), ini bisa jadi contoh negeri kita, bahwa president kita perlu penasehat-penasehat yang bener-bener 'sehat' sehingga praktik-praktik Syirk bisa segera dicouter dari negeri ini.
Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, banyak hidup juga seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan seperti pujangga sastra, salah satunya yaitu Abu Nawas (detailnya kita bahas nanti) Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Suasana negara yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata, mirip dizaman pemerintahan Umar binAbdul Aziz. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.
Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim, karena hukum islam ditegakkan sesuai tuntunanNya. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak dibangun pada masa itu.
Khalifah Harun Ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab begitupun sebaliknya. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.
Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M setelah menjadi khalifah tak kurang dari 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.
Daulah Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.
******
Sekarang back to topic, WHO IS ABU NAWAS?
Dia adalah seorang pujangga yang bernama asli Abu Nuwas (Abu Nawas) atau abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan, termasuk sastra.
Pada masa itu khalifahnya (Harun Arrasyid) terkenal sangat dekat sekali dengan ahli ilmu nggak peduli dari kalangan orang manapun, termasuk dia mempunyai hubungan dekat dengan Abu Nuwas ini, sedangkan Abu Nuwas adalah seorang yang suka meminum minuman keras, bermain dengan wanita, mendengarkan musik, berjoget, dan berdansa, serta perbuatan lain semisalnya (note: entah kisah ini benar apa nggak) {baca:disini), sehingga khalifah pun banyak mendapat sorotan ahli sejarah timur tengah dzn juga (barat). karena kedekatannya dengan Abu Nuwas, tapi jika kita mengacu pada orang-orang disekitarnya termasuk para penasehatnya yaitu gurunya sendiri, kok rasanya kontradiktif sekali wilayah kekuasaannya jadi sarang para pemabuk dan penjudi, dan rasa-rasanya mustahil ilmu berkembang pesat jika lingkungan akrab dengan kekharaman, bukankah yang khaq itu nggak akan menyatu dengan yang bathil.
***********
Kisah kontradiktif diatas sangat masyhur di negeri nusantara kita ini dan mungkin juga di berbagai belahan bumi Islam lainnya. Banyak komik berbau dongeng dan mitos bukan riil sejarah yang ditulis, lalu dikonsumsi oleh semua kalangan yang menggambarkan bagaimana bejatnya perbuatan khalifah ini beserta teman karibnya Abu Nuwas. Sehingga kalau disebut di kalangan orang banyak tentang Harun Al Rasyid, maka yang terbetik dalam bayangan kita adalah Raja yang pandir doyan mabuk dan sahabatnya yang cerdik yang kisahnya sebelas duabelaslah dengan cerita tom & jerry atau pak tani dan kancil. Harun Arrasyid juga di gambarkan sebagai raja tanpa wibawa yang suka main musik dan wanita diiringi dengan minum khamr (minuman keras), dan Abu Nawas penyair yang doyan isengi rajanya, aneh kan?. Sebodoh-bodohnya raja masak iya Tak punya otak hingga jadi korban 'prank' rakyat jelata.
Jarang sekali di antara kaum muslimin termasuk ane sendiri mengetahui siapa sebenarnya Khalifah Harun ArRasyid kecuali dari cerita yang beredar ini., padahal dipaparan pembuka tadi kita bisa sedikit berdecak kagum gimana hebatnya masa pemerintahan beliau.
Asal muasal kekeliruan
Asal-usul utama cerita kontradiktif sejarah abu nawas (alih-alih Harun arrasyid) bersumber dari sebuah buku dongeng Alfu Lailatin wa Lailah (cerita dongeng seribu satu malam). Buku ini dari lembar pertama sampai terakhir hanyalah berisi dongeng. Dan yang namanya “dongeng” berarti ia tidak butuh asal-usul sanad yang terpercaya, seperti halnya batman atau superman. Isinya pun hanyalah khayalan belaka; misalnya, cerita tentang Ali Baba dengan perampok, kisah Aladin dengan lampu ajaibnya, begitu pula cerita tentang Abu Nuwas dengan Harun ArRasyid.
Buku ini asal-usulnya adalah dongeng yang berasal dari bangsa India dan Persia. Lalu dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab pada sekitar abad ketiga Hijriah. Kemudian ada yang menambahi beberapa ceritanya sehingga sampai masa Daulah Mamalik (setelahnya).
Buku ini sama sekali bukan buku sejarah, dan sama sekali tidak bisa menjadi landasan untuk mengetahui keadaan umat tertentu.,kecuali hanya kemajuan tentang sastranya saja.
Oleh karena itu, para ulama sepakat untuk men-tahdzir (memperingatkan) atas buku ini dan melarang umat untuk membaca dan menjadikannya sebagai landasan sejarah.
Di antara mereka adalah
- Al-Ustadz Anwar Al Jundi yang berkata, “Buku Alfu Lailatin wa Lailah" adalah sebuah buku yang campur baur tanpa penulis. Buku ini disusun dalam rentang waktu yang bermacam-macam. Kebanyakan isinya menggambarkan tentang keadaan sosial masyarakat sebelum kedatangan Islam di negeri persia, India, dan berbagai negeri paganis lainnya.”
- Ibnu Nadim dalam Al-Fahrosat berkata tentang buku ini, “Itu adalah buku yang penuh dengan kedunguan dan kejelekan.”
Dan masih banyak lainnya. Silakan melihat apa yang dipaparkan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam Kutubun Hadzdzara minha Ulama, 2:57.
Syaikh Shalih Al Fauzan pernah ditanya, “Sebagian buku sejarah terutama buku Alfu Lailatin wa Lailah menyebutkan bahwa Khalifah Harun Al Rasyid adalah seorang yang hanya dikenal sebagai orang yang suka bermain-main, minum khamr dan lainnya. Apakah ini benar?”
Beliau menjawab: “Ini adalah kedustaan dan tuduhan yang dihembuskan ke dalam sejarah Islam. Buku Alfu Lailatin wa Lailah adalah sebuah buku yang tidak boleh dijadikan sandaran. Tidak selayaknya seorang muslim menyia-nyiakan waktunya untuk menelaah buku tersebut. Harun Al Rasyid dikenal sebagai orang yang Shalih dan istiqomah dalam agamanya, serta sungguh-sungguh dan bagus dalam mengatur masyarakatnya. Beliau satu tahun menunaikan haji dan tahun berikutnya berjihad.
Ini adalah sebuah kedustaan yang terdapat ke dalam buku ini. Tidak layak bagi seorang muslim untuk membaca buku kecuali yang ada faidahnya, seperti buku sejarah yang terpercaya, buku tafsir, hadis, fiqih, dan aqidah yang dengannya seorang muslim akan bisa mengetahui urusan agamanya. Adapun buku yang tidak berharga, tidak selayaknya seorang muslim terutama penuntut ilmu menyia-nyiakan waktunya dengan membaca buku seperti itu.” (Nur Ala Darb, Fatawa Syaikh Shalih Fauzan Hal. 29)
Hakikat kerancuan Cerita Ini
Dari keterangan di atas, tiada lagi keraguan bahwa kisah tentang Khalifah Harun ArRasyid seperti yang digambarkan tadi adalah sebuah kedustaan. Banyak sekali para ulama yang menyatakan bahwa itu adalah sebuah kedustaan, di antara mereka ialah:
– Syaikh Shalih Fauzan, sebagaimana nukilan dari beliau di atas.
– Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, beliau berkata: “Ini merupakan kedustaan yang jelas dan kezaliman yang nyata…” (Fatawa Islamiyyah, 4:187)
– Syaikah Salim bin Id Al-Hilali berkata, “Kita harus membersihkan sejarah Islam dari hal-hal yang digoreskan oleh para pemalsu dan pendusta beserta cucu-cucu mereka bahwa sejarah Islam merupakan panggung anak kecil, musik, dan nyanyian. (Mereka gambarkan) para khalifah kaum muslimin sebagaimana yang dilakukan oleh para perusak tersebut dalam menodai sejarah Khalifah Harun Al Rasyid dan yang lain.” (Al-Jama’at Islamiyyah, Hal. 430)
Berdasakkan ini, maka alangkah baiknya kalau kita sedikit mengetahui perjalanan hidup kedua orang ini, agar kita bisa mengetahui siapa sebenarnya Abu Nuwas juga siapa dan bagaimana sebenarnya Raja Harun Al Rasyid.
Who is Abu Nuwas (Abu Nawas)?
Dia salah satu orang berbakat dibidang sastra(penyair) puisi/syair salah satunya, yang sangat masyhur pada zaman Bani Abbasiyyah.
Kepiawaiannya dalam menggubah qoshidah syair membuat dia sangat terkenal di berbagai kalangan, sehingga dia dianggap sebagai pemimpin para penyair di zamannya.
Namun amat disayangkan, perjalanan hidupnya banyak diwarnai dengan kemaksiatan, dan itu banyak juga mewarnai syair-syairnya. Sehingga saking banyaknya dia berbicara tentang masalah khamr, sampai-sampai kumpulan syairnya ada yang disebut khamriyyat.
Pandangan ane pribadi: penyair itu emang terkenal nyentriknya, jika digolongkan ahli maksiat karena syair-syairnya berbau khamr (Wallahua'lam) rasa-rasanya kok terlalu naif gitu. tapi asal kita tau aja, untuk nulis tentang 'indahnya' khamr tanpa kita konsumsipun bisa sebenarnya menulisnya beratus-ratus lembar, apalagi dijamannya buku-buku barat terjemahan juga gencar masuk diwilayahnya, jadi referensi tentang khamr pun gampang sekali untuk di khayalkan jadi bait-bait puisi/syair. Lawong kita ngobrol sama pemabuk aja bisa tau kok jenis- jenis merk miras, ya kan??
Abu Amr Asy-Syaibani berkata, “Seandainya Abu Nuwas tidak mengotori syairnya dengan 'kotoran-kotoran' ini, niscaya syairnya akan kami jadikan hujjah dalam buku-buku kami.”
Bahkan sebagian orang ada yang menyebutnya sebagai orang yang zindiq meskipun pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama. Di antara yang tidak menyetujui sebutan zindiq ini untuk Abu Nuwas adalah Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah(14:73), ketika menyimpulkan tentang kehidupan Abu Nuwas beliau berkata, “Kesimpulannya, para ulama banyak sekali menceritakan peristiwa kehidupannya, juga tentang syair-syairnya yang mungkar, penyelewengannya, kisahnya yang berhubungan dengan masalah khamr, kekejian, suka dengan anak-anak kecil yang ganteng serta kaum wanita sangat banyak dan keji, bahkan sebagian orang menuduhnya sebagai pezina. Di antara mereka juga ada yang menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Di antara mereka ada yang berkata: ‘Dia merusak dirinya sendiri.’
Hanya saja, yang tepat bahwa dia hanyalah melakukan berbagai tuduhan yang pertama saja, adapun tuduhan sebgian orang yang zindiq, maka itu sangat jauh dari kenyataan hidupnya, meskipun dia memang banyak melakukan ke'maksiatan' dan kekejian."
- Awal mula Abu Nawas kenal sastra
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadits, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah yang membuatnya 'gila sastra', dia adalah Walibah bin Habab Al-Asadi yang telah mengajarinya memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.
Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab, karena suku pedalaman badui lah bahasanya yang masih original (oleh karena itu juga dulu tujuan Rasul dianak susukan oleh ibunya ke suku badui bertujuan untuk memurnikan bahasa 'ibu'nya, arab original)
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Raja Harun Al-Rasyid (yang pada saatnya nanti jadi karibnya) Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Raja. Tentu saja Raja Harun Arrasyid murka, lantas memenjarakannya.
Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Dan justru sejak mendekam di penjara diera Harun arrasyid-lah syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi lebih religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Contohnya syair yang masyhur ini;
Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga (Firdaus).
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.Maka perkenankanlah hamba bertobat dan ampunilah dosa-dosa hamba.Karena sesungguhnya Engkau Pengampun dosa-dosa besar.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi beberapa diilhami dari kegemarannya melakukan maksiat (ntah maksiat secara riil, atau ngumpul dengan ahli maksiat) . Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai keTuhan-an. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Raja Harun Al-Rasyid (sebelum dipernjarakan), Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kekurangan dan mungkin juga jauh dari nilai-nilai islam—tetapi dari pengalaman itu yang justru membawa keberkahan tersendiri.( menurut ane bisa juga dia dipenjarakan oleh ALLAH lewat tangan Harun Arrasyid sebagai bentuk teguran kebablasannya abu nawas).
Akan tetapi, walau bagaimanapun juga disebutkan dalam buku-buku sejarah bahwa dia bertaubat di akhir hayatnya; semoga memang demikian dan menunjukkan taubatnya adalah sebuah syair yang ditulisnya menjelang wafat:
Ya Allah, jika dosaku teramat sangat banyak namun saya tahu bahwa pintu maaf-Mu lebih besarSaya berdoa kepada-Mu dengan penuh tadharru’ sebagaimama Engkau perintahkan
Lalu jika Engkau menolak tangan permohonanku, lalu siapa yang akan merahmati-ku
Jika yang memohon kepada-Mu hanya orang yang baik-baik sajaLalu kepada siapakah orang yang jahat akan memohonSaya tidak mempunyai wasilah kepada-Mu kecuali hanya sebuah pengharapan Juga bagusnya pintu maaf-Mu kemudian saya pun seorang yang muslim.
Semoga Allah menerima taubatnya dan memaafkan kesalahannya, karena bagaimanapun juga dia mengakhiri hidupnya dengan taubat kepada Allah.
Dan semoga kisah yang diceritakan oleh Ibnu Khalikan dalam Wafyatul-A’yan2:102 benar adanya dan menjadi kenyataan. Beliau menceritakan dari Muhammad bin Nafi berkata, “Abu Nuwas adalah temanku, namun terjadi sesuatu yang menyebabkan antara aku dengan dia tidak saling berhubungan sampai aku mendengar berita kematiannya. Pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengannya, kukatakan, ‘Wahai Abu Nuwas, apa balasan Allah terhadapmu?’ Dia menjawab, ‘Allah mengampuni dosaku karena beberapa bait syair yang kututulis saat aku sakit sebelum wafat, syair itu berada di bawah bantalku.’ Maka saya pun mendatangi keluarganya dan menanyakan bantal tidurnya dan akhirnya kutemukan secarik kertas yang bertuliskan: … (lalu beliau menyebutkan bait syair di atas).”
******
Setelah mengetahui sekelumit tentang Abu Nuwas, marilah kita beranjak untuk bermukhasabah, betapa pentingnya taubat itu sebelum terlambat, apakah musti kita nunggu masuk penjara dulu untuk ngenal Allah. Apa kita harus tunggu murka Allah dulu untuk taubat, atau kita tunggu si pencabut nyawa samperin kita untuk pending sebentar nunggui kita taubat?
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang“. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. [Annisaa':18]
Akhirul paragraf ini marilah sedikit kita resapi syair Abu Al Athiyah yang senandungkan untuk Harun Arrasyid
Hiduplah semaumuDi bawah naungan istana nan megahmuEngkau berusaha mendapatkan apa yang engkau senangiBaik pada waktu sore maupun pagiNamun, apabila jiwa tersengal-sengalKarena sempitnya pernapasan dalam dadaSaat itu berulah engkau tauBahwa selama ini engkau sedang tertipu
Pada saat mendengar kalimat itupun Harun ArRasyid pun langsung menangis sejadi-jadinya, sehingga Fadhi bin Yahya yang menyuruh Abu Al Athiyah bersenandung berkata, “Amirul-Mukminin memanggilmu agar engkau bisa membuatnya senang, tetapi engkau malah membuatnya susah.” Maka Harun Ar Rasyid berkata, “Biarkan dia, dia melihat kita sedang kebutaan dan dia tidak ingin kita semakin buta.”
Diwaktu lainnya, Harun ArRasyid memanggil Abu Al Atahiyyah lalu berkata, “nasihatilah saya dengan sebuah bait syair.” Maka Abu Al Athiyah bersenandung:
Jangan engkau merasa aman dari kematian sekejap mata punMeski engkau mempunyai para penjaga dan para pasukanKetahuilah bahwa panah kematian pasti tepat sasaranMeski bagi yang membentengi diri darinyaEngkau ingin selamat namun tidak mau mengikuti jalanNyaBukankan sebuah bahtera tidak akan mungkin berlayar di jalan raya
Begitu saat mendengarkan senandung kalimat diatas, Harun Ar Rasyid pun langsung jatuh pingsan. Sedang kita....??
Wallahu a’lam.
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar