Mooner[area]- To the point aja ya guys bahasan kali ini, Siapapun tidak akan suka jika disebut sebagai orang bakhil atau kikir alias pelit bin medhit. Bahkan ” si mbahnya” pelit atau yang sudah nyata-nyata bakhil juga akan tersinggung bila disebut orang bakhil atau kikir apalagi medhit. Kalaupun ada orang yang menyentil sikapnya yang bakhil, ia akan berujar, “ane bukan kikir, tapi hemat. Bukan perhitungan kalau mengeluarkan harta, tapi cermat.” (alibi).
Ungkapan bakhil bin pelit biasanya identik dengan masalah harta dan kekayaan. Kebanyakan yang berperilaku pelit adalah mereka yang memiliki harta atau kekayaan. Adapun orang miskin, bisa dibilang tidak mungkin bersikap pelit, karena memang tidak ada yang perlu dipelit-kan.
Secara bahasa, pelit bisa berarti kikir atau medhit (jawanya). Menurut al-Jahiz, bakhil atau pelit pada dasarnya adalah sifat yang disandangkan kepada orang dewasa yang waras alias tidak gila dan memiliki harta. Anak-anak, orang gila dan orang miskin tidak dapat disebut sebagai orang yang bakhil.
Ada ulama yang mendefinisikan pelit, bakhil sebagai sifat atau perbuatan seseorang yang tidak mau mengeluarkan atau menyisihkan sebagian harta yang dimilikinya untuk orang lain.
Sedang Ane mendefinisikan pelit, bakhil sebagai suatu perbuatan di mana seseorang tidak mau mengeluarkan atau membelanjakan (menafkahkan) hartanya untuk nafkah yang bersifat wajib dan atau sunnah. Yang ane maksudkan dengan nafkah wajib itu adalah;
- mencukupi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarga baik yang bersifat primer (sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan), sekunder maupun tersier (bagi yang mampu).
- memenuhi kewajiban agama yang bersifat khusus seperti zakat, infak, sedekah, qurban, menunaikan ibadah haji dan bentuk-bentuk ibadah yang di dalamnya terdapat nilai biaya untuk menunaikannya.
Tulisan kali ini akan difokuskan pada persoalan sifat pelit pada seorang suami atau kepala rumah tangga. Dari definisi bakhil di atas, maka jelas jika seorang suami tidak mau (bukan tidak mampu) menafkahi istrinya, ia pantas menyandang gelar pelit bin medhit karena dipandang enggan mengeluarkan nafkah yang bersifat wajib (karena menafkahi istri hukumnya wajib). Adapun suami yang tidak mampu menafkahi istrinya karena satu dan lain hal, ia tidak dikategorikan sebagai suami yang pelit tentunya.
Secara harfiah, nafkah kepada istri terbagi kepada dua bentuk; Nafkah lahir dan nafkah batin.
Nafkah lahir adalah nafkah dalam bentuk materi seperti yang diulas sedikit di atas, yaitu pembelanjaan harta untuk memenuhi kebutukan akan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Bahkan menurut imam Hanafi, bagi seorang suami yang memiliki kemampuan secara materi atau katakanlah berkelebihan harta, ia juga diwajibkan memenuhi kebutuhan istrinya yang bersifat tersier seperti membelikan perhiasan, pakaian yang bagus, makanan yang lezat serta buah-buahan (catatan: di jazirah Arab, dahulu buah-buahan termasuk dalam kategori makanan mewah) dan rekreasi.
Adapun bentuk nafkah batin kepada istri di antaranya adalah memberikan kepuasan secara (itu--tuh...), menyenangkan hatinya dengan sikap yang baik, menghormati dan menghargainya serta memberikan ketenangan secara kejiwaan. Membimbing, mendidik agama dan mensalehkan istri juga termasuk ke dalam bentuk nafkah batin.
Ternyata, kepelitan suami bukan saja dalam bentuk lahir atau materi. Suami yang mahal senyum, tidak mau bercanda, enggan memanjakan istri, tidak mau mengajari agama dan menyenangkan hati istrinya adalah suami yang pelit secara batin.
Dan Untuk para istri: Nah, kira-kira suami antum pelit bin medhit tidak?
Sedang Untuk para suami: Apakah Kita sudah menafkahi istri kita secara baik atau belum? kalau belum, jangan-jangan kita termasuk orang yang bergelar SPM, alias suami pelit bin medhit.
Gubrakkkk....???????
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar