Begitulah cinta, sangat sulit menjelaskannya. Umumnya cinta itu memang buta, seperti yang pernah kita dengar dari riwayat Imam Abu Dawud dan Ahmad, “Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli.” Tetapi sungguh, cinta itu tidak salah. Cobalah menyelami samudera cinta. Meski ombak membawa sampah dan kotoran ke tepian pantai, mengganggu pemandangan keindahannya. Jangan lupa, bahwa di balik samudera cinta tersebut ada mutiara yang gemerlapan, yang tidak saja membutakan, tetapi juga menentramkan.
Marilah kita lihat cakrawala cinta di semesta, kita akan menemukan lapisan cinta yang begitu indah. Diawali dengan cinta pada Sang Pemberi Kehidupan, cinta pada para nabi dan rasul-Nya, cinta pada para sahabat dan keshalihan para ulama, cinta pada kaum muslimin, cinta pada orangtua terutama pada ibunda. Cinta pada sesama kaum mukmin, muslimin, manusia pada umumnya, pada diri sendiri, dan akhirnya cinta benda atau harta.
“Barangsiapa ingin merasakan manisnya iman, hendaklah dia mencintai saudaranya, dan dia tidak mencintainya kecuali karena Allah.” (HR. Ahmad dan Hakim).
Cinta tertinggi nan mulia hanyalah cinta kepada Allah. Maka di setiap cinta kepada selain-Nya tidak disandarkan kepada-Nya, itulah cinta yang membutakan, cinta yang dipenuhi dengan nafsunya. Cinta yang menjadi cobaan, cinta yang cenderung pada maksiat. Cinta yang menggelora tanpa rasa malu, cinta yang membahayakan, cinta yang terbelenggu manis dalam dekapan setan. CINTA KEPADA SELAIN ALLAH TIDAKLAH ABADI, AKAN ADA KATA PUTUS DALAM CINTA SELAIN KEPADA ALLAH.
Yang harus diingat bahwa Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta, memang sudah fitrah dan diabadikan dalam QS. 3 : 14. Tetapi Islam memberi petunjuk agar cinta tetap mengarah di jalan yang menjaga kehormatan. Cinta itu fitrah dalam lautan kesucian. Salah menggunakan petunjuk dan tidak mengikuti arah, maka cinta akan tenggelam dalam lautan hawa nafsu kehinaan, membutakan. Cinta buta bagi mereka yang tidak pada jalur cinta yang sesungguhnya.
Seperti banyak orang bijak berkata bahwa cinta adalah kata kerja, kata kerja yang membebaskan. Ya, begitulah cinta seharusnya. Membebaskan belenggu dan ketergantungan yang membutakan para pencinta. Cinta yang seharusnya memberikan kekuatan energi membebaskan para pencinta kepada siapapun, dan hanya merelakan dirinya dalam bentuk penghambaan cinta kepada Allah. Begitulah sejati cinta, tidak diiringi ketergantungan dan membuat hati menjadi buta. Cinta adalah merdeka, bebas dari belenggu siapapun dan apapun yang menjajah rasa. Cinta yang memberikan barakah bagi diri dan sesama.
Ada sebuah kisah dalam Taman Para Pencinta karya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah.
Ada seorang pemuda tampan dan ahli ibadah dari Kufah. Suatu ketika ia pergi ke Nakha’. Tak sengaja ia melihat gadis cantik. Ia tertarik padanya dan jatuh cinta. Lalu ia datang ke rumah gadis itu dan mengutus seseorang untuk melamarkan kepada ayahnya. Sayang sekali, ayahnya sudah menerima lamaran dari sepupunya. Ternyata antara gadis itu dan ahli ibadah sudah terlanjur jatuh cinta hingga mengalami derita berat akibat kasih sayang yang tak sampai.
Lalu gadis itu mengirim surat sebagai pengobat rindunya. “Aku tahu betapa berat cintamu padaku. Dan betapa berat cobaan yang harus kau terima karena aku. Jika kau mau, aku bisa datang ke rumahmu untuk menemuimu. Atau jika engkau mau, aku bisa mengatur jalan agar engkau bisa sampai ke rumahku.” Tapi pemuda itu berkata pada utusan itu, “Tak satupun yang kupilih atas kedua keburukan itu.” Ia berkata seraya mengutip firman Allah dalam surah Al-An’am : 15, “Katakanlah : Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (Hari Kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku.”
Kisah tersebut memberikan pelajaran pada kita bahwa rasa cinta pada seseorang tidak membuat hatinya buta. Meski begitu besar rasa cinta sang pemuda, namun cinta pada-Nya lebih memenuhi hatinya. Sungguh agung cinta dalam Islam, menjaga umatnya agar kesucian cinta tidak tercemar oleh kotornya nafsu dan tidak hanyut oleh sewenang-wenangnya setan memperlakukan.
“Tidak sempurna iman seseorang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapak-ibunya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan sekarang, bisa kita ketahui di mana letak cinta yang kita miliki.
Apakah cinta itu buta?
Apakah cinta itu buta?
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar