Mooner [area]- Dalam perputaran kehidupan ini ada waktu dimana ane mentraktir sahabat– sahabat ane dengan 3 ekor Udang ukuran Jumbo. Besar, Nikmat dan penuh kesenangan.
Ada waktu dimana seorang OSIS mengundang ane sambil menaruh kata ‘ustad’ didepan nama ane (ahh..lagi-lagi exploitasi bangsat..)
Gelar yang seharusnya lebih cocok kepada alumnus sekolah-sekolah atau kampus bernilai syariah.. ya semacam IAIN gitulah..
Ada waktu seorang mengemail ane menanyakan bagaimana cara mengembangkan bisnis menuju seorang manusia yang sukses dunia akhirat.
Lagi – lagi ada waktu dimana menyusun kata – kata Indah untuk dishare sebagai sebuah catetan di grup FB en Fanpage menjadikan beragam pujian menusuk hati..
Seperti juga ada waktu berbondong – bondong orang ingin mengenalmu, karena gaung namamu yang konon membesarkan mitos seakan begitu luar biasa untuk dikenal, dikenang bahkan di teladani..(ahh..lagi-lagi exploitasi bangsat duniawi yang mencelakakan..)
Ada waktu dimana tak ada satupun tersisa untuk dimakan dan bisa dijadikan makanan dirumah.
Ada waktu dimana menghindari undangan – undangan akademisi yang memposisikan dirimu sebagai seorang sosok intelektual, dan layak menjadi pembicara atau narasumber 'sok' menjadi lebih baik dilakukan. Menghindari jebakan retorika dimana hasrat lidah sering tidak searah dengan kemampuan tubuh.
Pada saat kita menyuruh orang untuk bersabar, sejatinya pengalaman justru menjadikan kita belajar, bagaimana Allah justru langsung menguji kesabaran kita.
Pada saat kita menyuruh seseorang untuk kuat, pada saat yang sama Allah sering memberikan ujian ke kita untuk menguji seberapa kuatnya diri kita.
Pada saat kita menasehati seseorang tentang keistiqomahan sering juga pada saat yang sama Allah uji keistiqomahan kita dengan ragam cobaan, baik melalui harta, tahta dan wanita.
Hingga saat kita menasehati orang untuk jujur lalu ikhlas, pada waktu bersamaan Allah justru hadirkan cobaan untuk menguji kejujuran dan keikhlasan kita.
Pada ruangan pengalaman seperti itu harusnya kata 'Ustadz' itu dilanjutkan dengan kata 'gadungan', sejak tarian lidah kita berakhir dalam "pencabulan amal", exploitasi sedekah yang akhirnya menjadikan kegiatan kehidupan dan dakwah hanya menepi pada pencitraan semata.
Maka, Bersyukurlah orang – orang yang bisa mengalahkan realitas palsunya, untuk hidup apa adanya, seperti bersyukurlah orang orang yang sadar setelah ia tahu kebahagiaan yang dibangun dari mencabik cabik kesalahan orang lain, setelah ia sendiri tidak bisa menyadari kesalahan kesalahan dalam dirinya lebih cabul dari cabulnya masa lalu seseorang yang tahu atas kesalahan dirinya dan bersemangat dalam perbaikan dirinya.
Sejatinya bersyukurlah orang – orang yang lebih mampu mengenali kekurangan dirinya dari pada mengurusi kekurangan orang lain.
Sejatinya, tak pernah sedikitpun ane berharap dianggap Ustadz, pak haji atau apalah, sebab ane lebih tenang menjalani segala sesuatu ini dengan amal, bukan dengan mengejar pengakuan, itulah nikmatnya sebuah kesederhanaan, karena diriku nggak lebih mulia darimu..!!
Semoga Allah memaafkan semua aib kita, dan menutupnya hingga dihari penghakiman kita semua diberi pengampunan olehNya.
Ada waktu dimana, bisnis kita terjangkit hutang. Namun se-ragam apapun hutang, hidup adalah proses. Bukan hutang yang menjadi masalah, tapi tidak mau membayar hutang itulah yang masalah sebenarnya.
Maka itu, sekering apapun dapur rumah, dompet pribadi.
Tak ada alasan untuk menunjukan bahwa semua itu adalah kelemahan diri kita. Untung atau rugi, sukses atau belum sukses adalah proses. Ketika hutang mendera, azzam-kan membayarnya.
Walau dalam prosesnya sering tidak selancar agenda pribadi. Tapi selama hayat masih dikandung badan. Hasrat untuk berikhtiar adalah salah satu elemen ibadah dari keinginan untuk merubah nasib sebelum Allah sendiri merubah nasib kaum tersebut.
Yang menggelikan justru ketika hutang – hutang orang lain itu jadi bahan olok – olokan.
Jadi bahan dimana tendensi menjadi lebih dominan daripada empati motivasi. Apalagi ketika implementasi menjadi lebih fatalis saat simpati berubah antipati, lalu menjadikan keterbatasan kerabat sebagai alasan pembunuhan karakter. Jangan cari pendewasaan dalam lingkaran seperti, berangkatlah ke tempat hijrah yang lebih baik.
Sadarilah, sebelum seluruh badan kita menjadi berbau besi, tinggalkanlah tukang besi pergilah ke tukang parfum, mencari hamparan wewangian. Hamparan inspirasi kebaikan untuk perbaikan diri.
Sesungguhnya Bumi Allah itu teramat luas…amat sangat luas…Lalu ada waktu, dimana media sosial menjadi sangat membosankan.
Seorang brengsek yang hijrah tiba – tiba merasa menjadi ulama besar, membagi artikel yang kelas sudut pandangnya lebih berani dari Ijtihad seorang ulama mujadid. Menyalahkan yang disana dan disini. Berharap pengakuan atas ketulusan komitmen keimanan. Setelah saya sadar, komitmen keimanan yang sejati tidak diakui karena sebuah update status atau balas membalas komentar berlarut larut.
Hingga para ‘ulama’ dunia maya ini lebih menghargai sebuah wawancara warung kopi kelas ibu ibu rumah tangga dibandingkan seorang hafidz Qur’an yang jelas mengatakan bahwa yang ini adalah sesat dan itu adalah Ahlus Sunnah. Selamat datang dizaman ketika komposer musik lebih didengar bicara agama dibandingkan seorang lulusan Al Azhar Mesir yang hafalan 30 juz Al Qur’annya telah mendapatkan sanad Mashaikh ilmu AlQur’an Madinah hingga Yaman.
Tak ada ketenangan batin selain menutup akun sosial media, atau kalaupun ada cukup memiliki teman tidak lewat 50 atau 100 orang saja, namun kesemua teman itu lebih efektif dalam inspirasi kebaikan, peran ukhuwah yang penuh nasehat. Mengawal, Merangkul, Memotivasi dan selalu indah dengan saling menasehati dalam kebaikan.
Tidak lucu lagi, lawakan terbahak bahak yang menyindir. Setelah umur ini tersadari, mengolok olok seorang yang belum menikah ternyata sebuah kedzaliman..
Sebab apalah untungnya dari sebuah joke jika itu menyakiti hati.
Juga menjadikan bahan ejekan atau senda gurau seorang yang baru beristri satu, dengan perbandingan duplikat akad nikah, yang kebanggaan bukan justru mengedukasi, tapi justru malah menjebak motivasi tidak sehat bagi setan yang lebih dulu merusak hati, sebelum niat bergerak menjadi amal.
Jika kesalahan sudah terjadi, maka jangan cari siapa yang harus disalahkan. Cuma telaah lagi dengan muhasabah, apa yang salah?
Diri kitakah?
Lingkungankah?
Pergaulankah?
Coba dicarilagi, coba ditabayun dengan kejernihan hati, apa sebenarnya hal mendasar yang meresahkan nurani kita.
Jika memang diri kita yang bermasalah?
Cari dimana letak masalahnya? Dimana kerapuhan-kerapuhannya.. Jika lingkungan dan pergaulan ternyata berpengaruh. Batasi saja, dan jika itu belum cukup..
Hijrahlah dan tinggalkan semua yang membawa kemudharatan, Dimulai dari meninggalkan (baca: melawan) tabiat buruk kita. lalu tinggalkan semua teman yang memang tidak memberikan inspirasi kebaikan dalam diri kita.Karena akan ada waktu, dimana kamu akan sadar, dimana "Orang yang berbondong bondong datang memujimu tidak semua mencintaimu, tidak semua akan mau memahami kekuranganmu".
Belati itu jauh lebih berbahaya dari pedang, karena ia bisa disembunyikan dibelakang baju tanpa terlihat.
Jagalah standar pergaulan secukupnya. Secukup komunikasi sesuai kebutuhannya. Jika saudara sedarah bisa membunuhmu, orang seimanpun bisa berpecah belah. Maka tidak ada alasan kita untuk bisa mempercayai seseorang 100% sebaik apapun dia kepada kita. Kecuali kita sadar kepercayaan terbaik hanya ada pada Rabb pencipta kita, dari dariNya sajalah keteguhan dan kekuatan untuk perjalanan kehidupan berasal.Karena itu kita tidak perlu berlama– lama dengan senda gurau, kita tidak perlu larut dalam basa–basi.
Secarik kesetiaan dan segenggam cinta yang hidupkan alam sadar kita pada kekuatan kehidupan kita, cinta yang bermuara pada kekuatan kasih sayang. Kasih sayang yang hidup karena kemampuan kita mengisi kekurangan, menerima utuh tanpa syarat apapun. Lalu saling menguatkan tanpa imbalan apapun. Itulah energi keluarga yang hakiki.
Ketika dekapan seorang istri, dan senyuman anak semata wayang menguatkan hidup. Canda tawa ini lebih natural dan membahagiakan dari senyuman yang diketik ulang disebuah media sosial [emot], atau foto narsis yang tak lebih menggambarkan gangguan jiwa sederhana untuk sebuah hasrat eksistensi. Atau tepukan saat kau ada diatas podium publik, atau hingar bingar pengidolaan.
Sejatinya kesederhanaan itulah pembahagiaan sejati bukan "Exploitasi Bangsat" dengan derap puja-puji. Sesederhana itu seharusnya hidup menemukan kebahagiaannya..
Dan, Penyesalan terbesar ane adalah saya menyesal kenapa baru sekarang saya menyadarinya….
Bahwa existensi, exploitasi itu nggak penting, kita tanpa perlu berpromosi ke ruang publik kok, untuk tetep kuat mengemban gelar Khalifah fil 'ardy..
So..??
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar