Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
About me Facebook Page Facebook Grup
Eramuslim Hidayatullah Arrahmah Voa Islam Underground Tauhid Khilafah.com Jihadwatch.org Islamcity.com
Jurnal Haji MakkahTv live Wisata Haji Media Haji Spirit Haji
Digital Haji Streaming Software Alharam-Nabawi Ceramah kristolog Ceramah Yahya waloni Purgatory: Beauty Lies Beneath Hiphop Native Deen Dialog Muallaf-Murtad Kajian Islam-kumpulan hadits qudsi DOWNLOAD GRATIS EBOOK ALQUR'AN DAN KITAB-KITAB PENGARANG TERKENAL FREE DOWNLOAD EBOOK KRISTOLOGI
Fakta [area] Kisah [area] Kritisi [area] Motivasi [area] Mukhasabah [area] Muslimska [area] Sejarah [area] Puisi [area] Samara [area]
18.9.12 | Selasa, September 18, 2012 | 0 Comments

My Hubby, My Hero..

Rasanya gimanaa gitu nulis judul di atas. Lha, emang saya punya berapa suami?? Hihi.. of course, saya cuma punya 1 suami. Dan saya berharap, beliaulah suami didunia dan akhiratku… Amiin..
Juga berharap, saya kan mendampinginya di Jannah-Nya kelak...Aamiin…. Amin..


Sedikit kisah tadi malam.. 
Seperti biasa, saat senggang. Bercengkrama berdua. Tiba-tiba suami bertanya,

 “ Mmm, Mii.. Coba dipikir-pikir, selama Abii jadi suami Umii, apa ada yang kurang/cacat pada diri Bii sebagai suami?”




Heh?! Dahi saya langsung berkerut. Tapi kemudian langsung membalas dengan santai rada spontan.
“Ada Bii..! Fulus-nya kurang! !”
Kataku sambil memperagakan isyarat dengan tangan..Wkwkwk.,.


Suamiku langsung tertawa lepas,

“Haduuh.. Bukan itu My Lovely.! Kalau masalah fulus mah gampang. Kalau beneran
kurang, bulan depan tinggal Bii tambah (tambahi ciuman maksudnya).. Heheee”


Hahaha.. kini giliranku yang tertawa.
 "Gak-lah bii… kan tadi cuma bercando sajooo My Hubby.."

“Ayo dooong Mii! Dipikir benar-benar… ” Ucap suamiku dengan wajah penuh harap.

"Hmm.. apa ya..???? "

Saya benar-benar berpikir keras. Sel-sel memori kupaksa mengingat, adakah cela pada diri suamiku?

“ Ayo dong Mii.. Gak mungkin gak ada kekurangan pada diri Bii.. Tinggal ingat-ingat aja dari Abii
bangun tidur sampai Abii tidur lagi.. “


"Haduuh, apa ya Bii? Lha kalau emang gak ada yang menurutku kurang, masa’ harus memaksakan diri menjawab kekurangan bii?"

"Lagian, Abii aneh dweeh., perasaan udah sering banget tanya pertanyaan seperti ini. Kalau diingat-ingat, hampir tiap awal bulan Abii selalu tanya hal seperti ini meski anonim katanya sering di ganti-ganti.."

“ Umii..? “ Sahut Suamiku..

Ahaaa! kuteringat kebiasaan buruk suami yang kadang bikin saya jengkel setengah hidup.
Saya sebutkan 2 kebiasaan buruk suami (sensor) yang saya tidak suka. Suami manggut- manggut sambil tersenyum. Hmm.. dalam hati saya merasa, bahwa saya masih terlalu memaksakan diri menjawab itu.

“Lalu Mii…?"
"Kalau Bii sebagai menantu, juga anggota keluarga di keluarga Umii, adakah yang
kurang, karena Mii kan setelah nikah langsung Bii boyong ke rumah Bii sendiri ya notabene jauh dari keluarga en saudara-saudara Mii? “


Haduuh.., pertanyaan apa pula ini? Makin bingung saya –a..
Ya. Kebingungan saya bukan berarti saya tak punya jawaban. Bukan berarti suamiku adalah suami tanpa cela. Tidak! Hanya saja.. saya merasa bahwa segala kebaikan suami, sudah sanggup menutup segala kekurangannya. Segala kekurangannya pun, sejauh ini adalah kekurangan-kekurangan kecil, yang
masih bisa saya tolelir. Kekurangan yang belum ada apa-apanya dibanding kekurangan-kekuranganku yag banyaak sebagai istri.

Bagaimana saya bisa bilang ada yang kurang, sedangkan selama ini saya lihat suami sudah berusaha memenuhi segala kewajibannya sebagai suami dan berusaha memenuhi hak-hak saya sebagai istri.
Apa yang kurang, sedangkan suamiku berusaha berakhlaq semulia mungkin sebagaimana yang diperintahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?


Yah, bukan berarti saya tidak pernah menangis karena tersinggung dengan perkataan atau sikap suami sebab suami saya tergolong suami yang tegas binti keras dalam berucap namun istimewanya dia belum pernah sekalipun menggunakan tangannnya untuk memukul saya, walau banyak sikap saya yang kadang membuatnya jengkel. 
Tapi, setiap saya menangis atau marah, suami akan segera menyadari kesalahannya dan berusaha dengan segenap cara membuat saya tersenyum lagi. Dan saat itu, saya menjadi merasa, saya-lah yang terlalu kekanak-kanakan.. dan bukan suamiku yang salah.


Suamiku… engkau adalah nikmat istimewa dari Rabb-ku..
Jawaban atas segala doaku di penghujung malam.. di antara adzan dan iqomat.. di saat puasa dan hujan.

Engkau jawaban atas doaku, di saat aku mengadu pada Rabb-ku.. di saat aku sedih dan merasa lemah..
Engkaulah.. yang dahulu kuperjuangkan sedemikian rupa di hadapan orangtua, sahabat dan keluargaku. Bukan karena aku terlanjur suka.. karena aku hanya sedikit sekali mengenalmu ketika itu. Hanya berbekal profil masa lalumu yang kuliahpun [tak tamat] dan sekilas info dari orang terdekatmu yaitu ibumu.
Ku perjuangkanmu.. karena saat itu aku sudah begitu lelah.. setelah kegagalan demi kegagalan untuk mendapat pendamping yang PAS yang membuatku nyaman jadi diriku sendiri, bukan jadi robot yang seratus persen di kendalikan suami (karena ku mencari figur yang bisa jadi Partnership bukan jadi Juragan dan pembantu).

Ikhwan (suamiku kini)… saat itu, adalah titik puncakku!
Aku tak tahu lagi, masihkah aku punya semangat untuk berjuang agar bisa menikah dengan seorang ikhwan
ber-Prinsip kuat baik secara agama atau tentang masa depan (Bukankah ini sama dengan diktator, pikirku dulu), Namun dengan teguh aku katakan dialah lelaki PAS untukku, walau banyak sahabatku mulai meremehkanmu karena kamu cuma Tamatan Madrasah Aliyah, Bukan Anak SMA Negeri Apalagi anak kuliahan..


Tapi dalam Tahajjudku, engkaulah ikhwan yang paling mendekati kriteria keluargaku dan standarisasiku (aku
ingat, bahkan dulu pun ada beberapa orang yang mempertanyakan, kenapa aku lebih memilihmu,, bukan ikhwan A yang sudah jadi Sarjana dan mahir bahasa inggrisnya. Bukan pula si ikhwan B yang sudah jadi PNS. Bukan jua ikhwan C yang pintar ilmu Managemennya. Kenapa aku menolak ikhwan D, E, dll…. Ah! biarlah Allah saja yang tahu alasannya).


Lagipula, engkaulah ikhwan pertama yang ta’aruf denganku, dan kau sungguh berharap, hanya perlu satu
kali ta’aruf (terus menantiku sampai lulus kuliah).
Tapi kini, suamiku.. aku bersyukur bahwa aku dulu begitu memperjuangkanmu. Dan aku juga bersyukur, bahwa dulu engkau pun bertahan sedemikian rupa meski menghadapi berbagai ujian dari
keluargaku, serta sifat kekanak-kanakanku yang terkadang teramat meremehkanmu, tapi kini engkau telah menjelma sebagai pria yang membanggakanku yang kedewasaan serta kesabaranmu melebihi orang-orang di usiamu.


Engkau yang dahulu hampir ditolak, kini menjelma menjadi lelaki yang disegani bukan cuma ilmu agamamu, tapi cara berfikirmu tentang masa depan "bahkan kuberani berkata teramat Tolol wanita yang menolak Bujangan sukses [bukan akademis] sepertimu".

Dulu, aku tertunduk malu jika ditanya tentangmu sebab kamu hanya orang kampung (paradigma konserfatif).. tapi kini aku bisa berkata dengan bangga, “Aku tak salah kan memilihnya menjadi suamiku” bahkan gelar Magisterku nggak ada apa-apanya di bandingkan dengan prestasimu yang boleh donk ku label-i "Bujangan Sukses" waktu itu.

Suamiku, engkau lebih dari cukup bagiku. Bagaimana tidak.. Bukankah sebuah nikmat luar biasa mendapatkan suami yang benar-benar meletakkan seorang istri sesuai fitrahnya sebagai seorang wanita, yaitu menjadikan rumah kita sebagai istanaku. Engkau yang sanggup menarik empati serta membuat segan keluarga serta sahabat-sahabatku, sehingga membiarkanku [diboyong] ke istana hasil jerih payahmu selama penantianmu dimasa Kuliahku, dan kini kamu menjadikanku figur seorang istri sepenuhnya, bukan sebagai wanita karir (yang sempat jadi cita-citaku).

Engkau mewujudkannya segala idealisme yang kita godog bersama, bahwa seorang istri layaknya benar-
benar berperan sebagai istri & ibu. Dan engkau, mewujudkannya dengan cara yang apik… dengan lembut dan hikmah.


Engkau tahu suamiku, tak semua ikhwan berprinsip sepertimu, walau mungkin banyak tampilan luar sok agamis tapi hati en otak terbesik niat menipu, korup dll..?! Na'udzubillah..
Engkau memberikan gambaran seutuhnya pada keluarga besarku, tentang bagaimana seharusnya seorang suami berperan (baik sebagai imam dan sebagai Partner istri).
Suami yang baik, yang memenuhi tanggung jawabnya memberi nafkah (lahir serta batin) keluarganya. Yang tak hanya itu, tapi juga suami yang ringan tangan (bukan mudah nonjok) tapi mudah membantu dan bekerjasama melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Yang begitu lembut akhlaqnya.. juga memikat keramahannya.

Engkau membuat keluargaku membuka mata, begini seharusnya seorang suami.
Suamiku, mungkin orang lain akan bilang aku berlebihan menilaimu. Tapi aku tak peduli. Karena mereka tak benar-benar tahu kondisinya. Mereka tak benar- benar tahu tentangku dan tentangmu. Mereka tak benar-benar tahu tentang keluarga kecil kita.

Aku hanya ingin menulis ini.. agar selalu teringat. Dan menjadi catatan indah bagi pelayaran biduk kita.
Berharap.. engkau kan selalu seperti ini. Suami yang membuatku selalu merasa bersyukur karena menjadi istrimu. Karena mengandung anak-anakmu. Suami yang membuatku merasa masih menjadi istri paling kurang di dunia, karena kebaikan-kebaikanmu yang begitu banyak.


And … you are the best husband I ever had…
Oooh..My Hubby..U're..My Hero..

Alhamdulillahilladzi bi ni’matih tatimmush sholihat..



Oleh: Khayla Mooner

0 Comment [area]:

 
[muslimska]MOONER area © 2010 - All right reserved - Using Copyright: hanya mutlak Punya Allah SWT
WARNING: keseluruhan isi blog ini free copy paste tanpa perlu izin penulis..Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu akbar