Ada tradisi unik dalam pernikahan di beberapa daerah yang ane temui. Ini bukan soal pelaksanaan adat pernikahan masing-masing daerah itu, melainkan soal angpaw (ngamplop) yang biasa diterima pasangan pengantin atau keluarga pengantin sepanjang pernikahan.
Percaya atau tidak, di beberapa daerah jika seseorang memberikan angpaw (ngamplop) saat menghadiri pernikahan, maka si tuan rumah akan langsung membuka amplop itu langsung dihadapan tamunya itu dan mencatat nominalnya. Maksudnya jelas, jika nanti si undangan menikahkan anaknya, maka sejumlah nominal yang dia amplopkan itu pula yang akan diberikan kepadanya. Tidak jelas apakah mereka memerhitungkan tingkat inflasi (mark up bin untung) dan perubahan harga-harga lainnya dalam rentang waktu tersebut.
Lain lubuk lain isinya..Lain di desa lain pula di kota..
Dalam satu dekade terakhir, kita pasti tak aneh dengan kalimat yang tertera di kartu undangan pernikahan, “Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, dimohon tidak memberikan ungkapan bahagia dalam bentuk cinderamata atau karangan bunga.”Maksudnya...(maybe)
“Uang saja ya, jangan barang, nanti repot menjualnya..hahaha..”
Mungkin masih menahan rasa malu untuk terang-terangan mencantumkan nomor rekening di kartu undangan. Atau mungkin suatu saat kita akan menemukannya.Meskipun si tuan rumah punya alasan sendiri, “Kalau uang bisa lebih bermanfaat untuk keperluan sebuah keluarga baru.”
Tapi nampaknya hal ini sudah menjadi satu ketentuan umum yang lumrah, bahkan cenderung "wajib 'ain" bagi sebagian tamu, tentu saja memudahkan karena tidak perlu repot membeli dan membungkus kado dan menjinjingnya ke acara pernikahan. Walau bagi yang lainnya, lumayan membingungkan. Pasalnya, kalau ia biasa membeli kado dengan harga yang bisa disesuaikan dengan situasi kantongnya saat itu, namun dalam bentuk uang adakalanya harus merogoh kocek lebih dalam. Terlebih jika yang menikah adalah sahabat dekat, atasan, atau kolega strategis.Pada kenyataannya, perihal “minta uangnya saja” dalam pernikahan juga dimanfaatkan sebagian orang yang punya uang pas-pasan ketika hendak menghadiri pernikahan. Mumpung pakai amplop dan tidak perlu diberi nama, uang sepuluh ribu pun tidak ada yang tahu. Yang penting bisa makan enak, atau dalam bahasa kalangan anak kost “perbaikan gizi”.
Cerita menariknya.. tidak sedikit pula keluarga mempelai yang gigit jari lantaran banyak amplop kosong yang didapat.
Soal angpaw (ngamplop) pun kerap menjadi pemicu keributan di dalam keluarga.
Masa indah yang harusnya dinikmati kedua mempelai, harus diwarnai dengan aksi saling merasa memiliki “hasil” acara resepsi. Sang pengantin merasa berhak karena ialah aktor dari cerita ini, namun kedua orangtua pun tak mau kalah. Karena merasa sudah mengeluarkan cukup banyak modal, maka mereka pun punya kepentingan untuk mendapatkan setidaknya Break Event Point (BEP) alias balik modal bin keuntungan.
Syukur-syukur kalau ada lebihnya sebagai keuntungan yang bisa dibagi-bagi sesuai prosentase peran dan andil dalam proses pernikahan, tapi kalau gak? bisa-bisa tagihan makin membuncah..naudzubillah..
Nikah itu ibadah, segala prosesnya dari A sampai Z jika diniatkan sebagai ibadah akan bernilai ibadah pula di mata Allah. Semestinya tetap demikian, sepanjang tidak berniat mencari keuntungan materi dari ibadah yang dilakukan. Sebab, tidak sedikit orang yang sudah memerhitungkan untung rugi materi saat hendak melakukan prosesi ibadah pernikahan misalnya. Ada yang benar-benar meraup untung besar, ada pula yang tekor alias rugi binti ngutang sana-sini dan tidak balik modal.
Yang pernah meraup untung pun dengan bangganya memberikan sedikit tips kepada calon penyelenggara pernikahan agar tak mengalami kerugian:
Tips pertama, “Jodohkan saja dengan anak pejabat, selebritis, atau pengusaha,” ini tips pertama.
Tips kedua, “Minta calon suami yang menanggung semua biaya sampai hal terkecil, sementara Anda-lah penguasa tunggal amplop-amplop yang masuk ke kotak resepsi.”
Tips ketiganya, “Semua urusan pernikahan Anda yang mengaturnya, jadi Anda tahu berapa selisih yang didapat dari anggaran.”
Wuah, hebat sekali, bisa banyak untung tuh..wkwkwk !
Pernikahan saat ini sudah benar-benar menjadi industri yang bisa memberikan keuntungan menggiurkan. Ini namanya NIKAH FOR NGAMPLOP (cari untung), hal ini tidak bedanya dengan anak-anak muda yang pura-pura menutup lubang di jalan raya dengan puing ala kadarnya sambil menyorongkan baki atau topinya meminta sumbangan. Padahal, kalau mereka ikhlas melakukannya, itu bisa bernilai ibadah di mata Allah.
Lihat juga para pendo'a yang menjual jasa do'a-do'anya di area pemakaman, atau bahkan yang lebih menarik lagi, ane mendapati ratusan orang beramai-ramai mengikuti shalat jenazah di sebuah masjid.
ane pikir si jenazah ini orang shaleh yang karena ketaqwaannya ia disegani masyarakat, sehingga ketika ia meninggal banyak orang yang ikut menyalati jenazahnya. Rupanya ane salah, karena sebagian besar orang-orang justru tak begitu mengenal si jenazah. Dan ane memang benar-benar salah setelah melihat langsung salah seorang anggota keluarga menyelipkan amplop kepada para jama'ah usai shalat jenazah. “Imamnya lebih besar nominalnya,” begitu katanya.
Terakhir, seorang kawan bertanya kepada saya, “Kalau ustadz yang pasang tarif untuk ceramah, masuk ketegori ini nggak?” Wah, saya cuma bisa mesem-mesem sambil menjawab, “Untung ane nggak pernah mengaku sebagai ustadz.”
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar