Rizki adalah salah satu faktor yang paling banyak menjadi polemik, sebelum maupun setelah pernikahan. Faktor rizki ini tak henti-hentinya menjadi pokok bahasan dalam, menjelang dan disaat kita mengarungi pernikahan. Waktu lamaran atau khitbah misalnya, kerap kali seorang pria ditanyai calon mertua dengan pertanyaan : sudah kerja atau belum ? kerja di mana ?, semata-mata karena kerjaada kaitannya dengan rizki, dalam pengertian : rizki material untuk menghidupi keluarga (suami, istri dan anak).
Mengenai jumlah material yang bakal didapat seseorang ketika dia telah menikahpun masih banyak perbedaan pendapat. Ada yang berkata : rizki material seseorang yang menikah akan berkurang, mengingat jatah dirinya harus dibagi tiga- untuk diri, pasangan dan untuk anak-anaknya.
Ada yang berkata : rizki material seseorang yang menikah akan bertambah, mengingat rizki dari diri, pasangan dan anak semuanya berkumpul dalam wadah yang bernama keluarga. Pendapat kedua yang lebih optimistik ini berpangkal dari asumsi, masing-masing orang sudah dikaruniai rizki dari Allah, sehingga rizki itu berkumpul dalam suatu wadah, yaitu keluarga. Tambah optimis mereka yang memegang prinsip kedua ini, ketika pasangan suami-istri dikaruniai kelahiran seorang anak. Sudah ada rizki suami, rizki istri, ditambah lagi ridzkinya seorang anak. “Banyak anak banyak rizki,” bisa berlaku pula teratas mereka yang percaya dengan prinsip yang disebut ke-2 ini.
Bila diminta memihak, maka ane (pen) tentu akan berpihak pada pendapat ke-2, kendati secara logika pendapat pertama tidak sama sekali salah. Pendapat pertama bisa menjadi suatu kebenaran, dengan syarat : pencari nafkah tidak optimal dalam ikhtiar, sedang penerima nafkah tidak mampu mengalokasikan pendapatan secara hemat dan benar. Atau jangan-jangan, pihak yang bertanggung jawab mencari nafkah belum atau tidak mampu mencari nafkah, bagi pemenuhan kebutuhan dan stabilitas ekonomi keluarganya.Optimisme yang mengemuka dalam pendapat pertama bisa juga menjadi buyar, ketika optimisme tidak didukung oleh maksimalisasi potensi ikhtiar, serta azas penghematan dalam pengelolaan anggaran keluarga.
Pameo “banyak anak banyak rizki” bisa tidak berlaku lagi, berganti dengan pameo : “banyak anak banyak beban.” menurut hemat ane pribadi, fenomena inilah yang banyak terjadi di negara ini. Dengan faktor penyebab yang ditengarai : pernikahan dini, entah karena “married by accident” atau dalih ingin lekas menunaikan perintah agama, tanpa mengukur kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi pasca pernikahan.
Itulah sebabnya, untuk mencegah hal tersebut, Ibrahim Amini, seorang cendekiawan Islam meletakkan pekerjaan tetap atau stabil sebagai syarat bagi laki-laki, yang berniat menyunting seorang wanita.
KH Miftah Faridl, salah seorang ulama terkemuka Jawa Barat juga mendukung pendapat kedua, yang menganggap bahwa pernikahan adalah pembuka pintu rizki. Membaca uraian beliau dalam buku 150 'Masalah Nikah & Keluarga' bisa diinsyafi bahwa, kalau seseorang menikah maka dia akan memperoleh rizki untuk dirinya dan untuk teman hidupnya. Dengan menikah diharapkan, rizki bertambah dengan salah satu sebab, penyaluran pembiayaan hidup yang lebih baik, dan pengelolaan pembiayaan hidup diatas azas penghematan. Pendapat beliau menjawab pertanyaan tentang: "mengapa seorang kawan yang masih membujang dan bekerja di perusahaan mentereng, sering mengeluh kekurangan uang ?".
So,Partner (pasangan) yang handal dalam mengelola rizki tak pelak menjadi pertimbangan penting, yang harus dipikirkan seseorang ketika ia memilih pasangan hidup. Kurang-cukupnya rizki dalam sebuah keluarga akhirnya tidak ditentukan oleh jumlah material, melainkan ditentukan oleh kehandalan dan kemampuan manajerial pasangan pernikahan dalam mengatur cash flow rumah tangga.
Wallahu a'lam..
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar