Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
About me Facebook Page Facebook Grup
Eramuslim Hidayatullah Arrahmah Voa Islam Underground Tauhid Khilafah.com Jihadwatch.org Islamcity.com
Jurnal Haji MakkahTv live Wisata Haji Media Haji Spirit Haji
Digital Haji Streaming Software Alharam-Nabawi Ceramah kristolog Ceramah Yahya waloni Purgatory: Beauty Lies Beneath Hiphop Native Deen Dialog Muallaf-Murtad Kajian Islam-kumpulan hadits qudsi DOWNLOAD GRATIS EBOOK ALQUR'AN DAN KITAB-KITAB PENGARANG TERKENAL FREE DOWNLOAD EBOOK KRISTOLOGI
Fakta [area] Kisah [area] Kritisi [area] Motivasi [area] Mukhasabah [area] Muslimska [area] Sejarah [area] Puisi [area] Samara [area]
22.6.12 | Jumat, Juni 22, 2012 | 0 Comments

Kenapa Mesti FPI



    


 Kehidupan yang permisif dan hedonis tanpa disadari telah menggerus moralitas sebagian dari kita, baik disadari ataupun tidak. Kedatangan Lady Gaga untuk konser di Indonesia Juni lalu yang akhirnya batal masih saja memunculkan pro dan kontra dimasyarakat. FPI selaku ormas menjadi yang terdepan dalam menyuarakan sikap untuk ber-amar ma’ruf, nahyi munkar. Lalu mengapa ormas ini selalu disudutkan?


Dua kata kunci yang dibold diatas merupakan jawaban mengapa ormas seperti FPI selalu menjadi bahan ejekan, cacian dan makian. Kehidupan masyarakat yang seperti itu memang akan membawa kepada sikap acuh tak acuh terhadap pentingnya pembentengan diri dari hal-hal amoral. Dalam keadaan yang lebih ekstrim masyarakat akan terbalik-balik dalam menempatkan kebenaran. Bahwa sesuatu yang dikatakan benar itu adalah menurut hawa nafsunya, bukan kepada hati nurani yang tertuntun nilai-nilai religiusitas.


Contoh paling sederhana tetapi sangat fundamental ialah terkait sikap kita dalam memandang persoalan akan hadirnya musisi internasional yang bernama Lady Gaga tersebut. Bila kita bersikap bahwa baik-buruknya moralitas bangsa ini tidak dipengaruhi oleh jadi tidaknya konser Lady Gaga tersebut, sangat wajar jika kemudian sikap yang timbul adalah antipati dan menyudutkan ormas seperti FPI. Benteng terakhir kita dalam membenci keburukan telah runtuh dengan mengambil sikap demikian. Jangankan untuk berbuat nyata seperti FPI, untuk bersikap menolak keburukan saja kita tidak mampu.


Secara tidak langsung kita telah mengamini bahwa apa yang dikampanyekan oleh Lady Gaga, baik lewat lagu dan penampilannya adalah sebuah hal yang tidak perlu dikhawatirkan akan mengganggu sendi-sendi agama dan nilai budaya yang kita miliki. Penulis meragukan pernyataan terkait moral tersebut diatas lahir dari pemikiran yang mendalam dan jernih. Jika saja yang melontarkan pernyataan bahwa moralitas tidak dipengaruhi oleh jadi atau tidaknya konser Lady Gaga tersebut diberikan suguhan tontonan secara terus menerus didampingi seluruh anggota keluarganya. Penulis tidak yakin bahwa tidak akan terjadi perubahan walaupun sedikit terhadap anggota keluarga tersebut.


Benteng moralitas semestinya harus tetap dijaga dari upaya-upaya perusakan yang bersumber dari pihak luar. Benteng moral yang kuat akan senantiasa kuat jika terus berlangsung upaya perbaikan dan peningkatannya. Tanpa pemeliharaan niscaya benteng moral sekuat apapun akan jebol suatu ketika kelak.


Apa yang dilakukan oleh ormas seperti FPI adalah bagian dari pemeliharaan dan perbaikan terhadap moralitas bangsa ini yang sedang dalam kondisi krisis. Bila dalam krisis ekonomi saja pemerintah dan seluruh elemen berusaha untuk menanggulanginya hingga keluar dari masa krisis. Mengapa kita yang mengaku memiliki moral dan budaya adat ketimuran enggan untuk menjaganya?


Bukan itu saja, penolakan terhadap konser Lady Gaga bukan hanya menjadi domain ormas seperti FPI. Bila kita menyimak apa yang terjadi di belahan dunia lainnya yang menentang kehadiran konser Lady Gaga adalah bukti bahwa kepedulian terhadap penjagaan moralitas bukan hanya milik ormas keagamaan seperti FPI. Lintas agama dan kepentingan menyerukan penentangan terhadap lirik lagu dan penampilan sang Lady!. Lalu mengapa kita hanya berdiam diri, bahkan menyudutkan pihak-pihak tertentu?

sumber :kompasiana

kenapa mesti FPI


Kalau semua petani menanam padi, tak ada yang memberantas hama, bersiaplah menerima panen gagal. Kalau semua petani memberantas hama, tak ada yang menanam padi, bersiaplah tidak makan. Kedua pekerjaan itu harus dilakukan harmonis (baca disini).


Penolakan kehadiran FPI (Front Pembela Islam) di Palangkaraya oleh masyarakat Dayak memicu penolakan serupa di Jakarta. Lebih 100 orang yang tergabung dalam Gerakan Anti Kekerasan Tanpa FPI malah meminta pemerintah segera membubarkannya.


Rentetan penolakan dan permintaan pembubaran Ormas pimpinan Habib Riezeq tersebut sering terjadi belakangan ini. Bahkan, Mendagri Gamawan Fauzi pun mulai memberi warning kepada FPI agar bersiap bubar kalau dikategorikan sebegai Ormas anarkis (Republika, 12 Februari 2012). Mengapa FPI harus dibubarkan ?

Pro dan kontra


Kesan masyarakat terhadap keberadaan FPI yang identik dengan kekerasan tidak salah sepenuhnya. Seringkali tindakan anggota FPI mengundang kontroversi. Didukung anggota fanatik, bukan rahasia lagi nuansa kekerasan selalu mengiringi aksi jalanan mereka. Apalagi ketika aksi terjadi tak jarang diiringi penyerbuan bersenjata, perusakan tempat-tempat hiburan malam, sampai pada perusakan kaca gedung pemerintah.


Meski demikian tidak semua komponen masyarakat kontra keberadaan mereka. Banyak juga yang sepakat, terutama masyarakat yang tak percaya lagi dengan keberadaan kepolisian menghadapi berbagai praktik kemaksiatan yang mewabah di tengah kehidupan masyarakat. Ambillah contoh panti pijat, diskotik, bar, dan tempat hiburan malam yang tanpa berdosa beroperasi di pemukiman penduduk. Kalau tidak ada FPI, mana mungkin tempat yang sering dijadikan ajang transaksi kemaksiatan itu dapat ditutup.


FPI malah menjadi ‘kebutuhan’ bagi sebagian masyarakat. Tanyakan hal ini kepada masyarakat jalan Ketapang, Jakarta Pusat. Penduduk Jalan Ketapang yang mayoritas Betawi ini, sering jengkel atas arogansi preman yang menjadi centeng berbagai tempat hiburan (maksiat) di sekitarnya. Pascaperang “terbuka” antara puluhan laskar FPI dengan sekitar hampir tiga ratus preman centeng itu, yang terjadi di penghujung tahun 1998, kini warga di Jalan Ketapang merasa lebih tenang dan bermartabat.


FPI menjadi terkenal dengan aksi-aksi kontroversi, seperti menutup sejumlah diskotik, merazia tempat pelacuran/perjudian dan tempat maksiat lainnya serta melakukan sweeping di tempat hiburan malam. Tak jarang tindakan FPI ini juga mengundang konfik dengan masyarakat, tokoh dan Ormas lainnya bahkan dengan basis agama yang berbeda.


Dengan kegarangan itu, banyak pihak merasa terganggu. Tak terkecuali kelompok liberal, yang dimotori oleh tokoh-tokoh agama, nasionalis maupun kader partai politik. Mereka menuntut pembubaran FPI karena merasa telah menjadi hakim swasta yang tidak saja bertugas mengadili kejahatan, tapi juga keimanan seseorang.

Bukan didominasi FPI


Salah seorang deklarator FPI Habib Rizieq pernah mengatakan, “Kalau semua petani menanam padi dan tak ada yang memberantas hama, maka bersiaplah menerima panen yang gagal. Kalau semua petani memberantas hama dan tak ada yang menanam padi maka bersiaplah tidak makan. Kedua pekerjaan itu harus dilakukan secara harmonis. Demikian juga amar ma’ruf dan nahi munkar, keduanya harus ada yang melakukan. Karena itu harus ada rakyat yang bekerja untuk membangun negeri dan harus ada polisi yang menjaga keamanan rakyat. Dan sebagai negara dengan mayoritas Islam maka di Indonesia harus ada pula umat Islam yang menjaga keamanan agama Islam. Untuk itulah FPI didirikan. Semoga ini menjadi pembagian tugas harmonis yang saling menguatkan.”


Pernyataan Rizieq bukan tanpa alasan. Baik aparat penegak hukum maupun umat Islam tak mampu berbuat semestinya ketika kemaksiatan merajalela. Begitu juga dengan kasus-kasus pelecehan Islam yang seringkali dianggap sebagai ungkapan kebebasan berekspresi, tak membuat pemerintah tanggap menghukum pelakunya, dibiarkan bebas seolah-olah negeri ini membuka ruang pelecehan bagi kesucian agama Islam.


Ketika bentrok antara massa FPI dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang sampai menyeret Munarman ke penjara, atau kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Ciketing, tidak selalu merepresentasikan bahwa FPI sungguh-sungguh melakukan tindak kekerasan yang mengarah kepada tindak kriminal. Mereka mempunyai keyakinan bahwa mereka harus turun ke jalan karena merasa nilai-nilai Islam sering dilecehkan, sementara tak satu pun elemen umat Islam yang berani turun ke jalan, lalu mereka tampil ke depan sebagai pembela Islam.


Bukan saja kurang, bahkan tidak adil kalau legalitas pembubaran FPI atas dasar tuduhan tindak kekerasan yang mereka lakukan. Justru mereka tampil ke depan karena ketidakmampuan aparat keamanan melakukan tugasnya membebaskan negeri ini dari berbagi tindak kriminil yang merajalela di tengah warga. Timbangan perlu digunakan sebagai neraca keberadaan mereka: lebih besar manfaat atau mudharat. Kalau anarkhisme yang dijadikan alasan pembubaran FPI sesungguhnya masalahnya tidak sesederhana itu.


Pertama, kebanyakan masyarakat sekitar biasanya mendukung aksi FPI. Keberadaan diskotik, bar, dan panti pijat yang berdekatan dengan pemukiman banyak menimbulkan pengaruh negatif bagi warga, terutama generasi mudanya. Mengharapkan pihak keamanan dan pemerintah menutup berbagai tempat kemaksiatan tersebut jelas mustahil karena tempat hiburan tersebut secara rutin mengirimkan upeti kepada aparat setempat.


Kedua, harus dibedakan kekerasan yang terjadi karena rebutan lahan parkir, persaingan antara organisasi pemuda (OKP) yang murni tindak kriminil disejajarkan dengan kekerasan yang timbul akibat sweeping diskotik, lokalisasi perjudian dan pelacuran, dan tempat-tempat maksiat lain. Kalau tindakan seperti ini dianggap sebagai “kekerasan” berbau kriminal, sungguh sangat keterlaluan dan bertentangan dengan akal sehat. Semestinya yang dikategorikan kriminal adalah mabuk, judi, dan prostitusi. Kalau ada pihak yang ingin mencegah tindak kriminal dan penyakit masyarakat, seharusnya didukung, bukan malah dikriminalisasi.


Ketiga, citra buruk FPI lebih banyak diciptakan oleh media daripada kenyataannya di lapangan media massa juga jangan menjadi sumber provokasi. Selain harus bersikap profesional dan memenuhi etika jurnalistik, media massa juga jangan sok tahu dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama. Kasus pemuatan foto Munarman mencekik anggotanya sendiri, yang oleh salah satu media nasional ditulis mencekik anggota AKKBB, menunjukkan bahwa media itu menaruh antipati atas keberadaan FPI, dan pro atas keberadaan AKKBB.


Pemerintah harus menyadari, sesungguhnya kelahiran FPI disebabkan ketidaktegasan pemerintah dan aparat keamanan memberikan jaminan kehidupan yang aman, tertib, dan tenteram bagi masyarakat. Kemunculan FPI lantaran rakyat sudah muak dengan pembiaran kemaksiatan dan perilaku yang melanggar norma agama. Hakim yang mudah disuap, jaksa yang korup, polisi yang gampang disogok, sehingga kemaksiatan dan premanisme merajalela di negeri ini.


Maka, FPI pun muncul sebagai wadah aspirasi masyarakat yang resah dengan kemungkaran serta membantu aparat penegak hukum menjalankan tugas-tugasnya di tengah warga. Sebaiknya yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah menyelesaikan akar masalah yang menjadi penyebab FPI tetap menggunakan tangannya mencampuri berbagai tugas aparat keamanan, bukan malah membubarkannya. Partai yang petingginya korupsi pun tidak lantas dibubarkan partainya. Padahal, kejahatan korupsi lebih parah dibandingkan kekerasan fisik. Dalam UU, korupsi terkategori sebagai extra-ordinary crime yang tentu saja lebih berbahaya daripada bentrokan fisik. Wallâhu A’lam

KH. Tb. Abdurrahman Anwar, SH., MAMajelis Syuro DPP FPI






FPI dan Amar Ma’ruf Nahi MunkarFPI dideklarasikan sebagai wadah kerjasama ulama– umat dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar diseluruh sektor kehidupan. Karenanya FPI sangat peduli terhadap persoalan da’wah dan barokah’ aqidah dan syari’at, akhlak dan moral, sosial dan kemasyarakatan, pendidikan dan kebudayaan,ekonomi dan industri, politik dan keamanan, pengetahuan dan teknologi, serta sektor – sektor kehidupan umat Islam lainya.


Dengan demikian bahwa FPI sudah memposisikan diri sebagi organisasi amar ma’ruf nahi mungkar. Latar belakang pendiri FPI merajalelanya kedzoliman dan maraknya kemaksiatan di tengah masyarakat, oleh karenanya telah terjadi kerusakan dimana-mana, bahkan terjadi musibah di seantero negeri, sehingga tidak bisa tidak harus ada dari bagian umat ini yang sudah tampil ke depan untuk melawan kedzaliman, agar terhindar dari mala petaka yang bias menghancurkan negri dengan segala isinya. (Habib Muhammad Riziq Shihab: “Dialog Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, hal : 127 ).


Dengan semngat suci mulia dan luhur, para pendiri, pengurus , aktifis, simpatisan, dan seluruh keluarga besar FPI mensosialaisasikan dan mengkonsolidasikan : Visi, misi dan pergerkan da’wah FPI di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Secara faktual kehdiran FPI mendapat sambutan hangat, respon positif dan dukungan penuh dari masyarakat. FPI menjadi asset umat dan bangsa Indonesia, terbukti sepak terjang dan kiprah FPI dalam berbagai hal selalu mendapat tempat di hati masyarakat, baik di bidang sosial, da’wah keagamaan, bidang sosial kemanusaian dan pergerakan bidang sosial kebangsaan. Pergerakan amar ma’ruf nahi munkar FPI selalu dalam koridor hukum agama maupun hukum Negara, karenya FPI berpegang teguh pada hukum positif yang berlaku dalam konteks kenegaraan di satu sisi dan hukum syariah di satu konteks keagamaan disisi lain.

Pembentukan Opini Buruk terhadap FPI


Sekelompok kaum sekuler, liberal, pluralis dan jaringan kemaksiatan serta kaum Marxis-komunis mersa tidak nyaman dan tidak suka terhadap kehadiran FPI. Oknum-oknum kelompok tersebut mulai bergerilya menyemaikan benih-benih kebencian dan antipati terhadap keberadaan FPI. Strategi dan langkah pertama mereka adalah membidik FPI dengan mengusung kalimat “kekerasan”. Cap dan stempel kekerasan diarahkan kepada FPI dengan segala tipuan dan kelicikannya, sementara bentuk kekerasan yang dilakukan oleh mereka dan jaringannya tidak pernah dibuka bahkan cenderung selalu diselimuti. Langkah kedua mereka adalah membidik FPI dengan mengusung jargon ”melanggar HAM”. Nyatanya kedua tudingan itu tidak terbukti bahkan itu semua fitnah keji yang tidak berdasar sama sekali.


Langkah ketiga yang merka mainkan adalah “memanfaatkan media”, apakah itu media massa atau media elektronik. Pendek kata meraka menghalalkan segala cara yang ditujukan FPI agar oraganisasi tersebut tidak mendapat tempat di hati masyarakat.


Pertanyaanya adalah kenapa mereka begitu bergairah dan mengusung jargon-jargon tersebut diatas?.

Jawabannya adalah agar terjadi pembunuhan karakter terhadap FPI dan pembentukan opini negatif terhadap eksitensi FPI itu sendiri. Mereka mengusung jargon dan kalimat-kalimat spesial yang ditujukan pada FPI, yang bertujuan agar FPI menjadi musuh bersama mereka. Mereka memenfaatkan momentum dan media seluas-luasnya. Dagangan yang dijual oleh mereka ternya tidak laku di tengah-tengah umat, mereka tertipu oleh dirinya sendiri dan mereka lupa kalau masyarakat saat ini telah dewasa, kritis dan obyektif dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu, makin diopinikan negatif, FPI semakin mendapat dukungan luas dari masyarakat Indonesia.

Upaya Pembubaran Paksa terhadap FPI

FPI adalah organisasi nasional yang telah berdiri diseluruh Indonesia, baik ditingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Kelurahan/desa.


FPI adalah organisasi keagamaan secara resmi dan formal yuridis terdaftar di Kementerian Dalam Negeri sesuai dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1985. Secara de facto FPI berdiri di Indonesia dalam semua tingkatan dan jajarannya (DPP-DPD-DPW-DPC), dan secara de jure FPI organisasi sah dan resmi yang mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan undang-undang. Organisasi FPI sejajar dengan ormas-ormas lainnya seprti : NU, Muhammadiyah, PERSIS, PERTI, MATLAUL, PUI, ALWASHLIYAH dan lain-lain.


FPI sangat solid, militan dan mengakar di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Seiring dan sejalan dengan kiprah dan perjuangan FPI yang semakin mengakar dan dirasakan berbuat nyata dan umat, maka kelompok sekuler, liberal, plural, mafia kemaksiatan serta kaum marxis-komunis memainkan peran penting dan strategis dengan cara memutar balikan fakta, membentuk opini negatif yang pencapaian akhirnya pembubaran terhadap organisasi FPI.


Serentetan peristiwa keagamaan dan kemanusiaan yang dilakukan FPI dicari-cari kesalahan dan celah, agar FPI dibubarkan. Berbagai contoh dapat diurai: Ketika FPI bersinggungan dengan masalah pemurtadan mereka bela kelompok yang melakukan pemurtadan, FPI bersinggungan dengan jaringan perjudian mereka membela para penjudi. FPI bersinggungan dengan mafia pelacuran mereka bela mafia pelacur, FPI bersinggungan dengan bandar narkoba mereka bela bandar narkoba, FPI bersinggungan dengan premanisme mereka bela di balik preman, FPI bersinggungan dengan pornografi dan pornoaksi mereka membela dengan lantang di belakangnya, FPI bersinggungan dengan aliran sesat mereka membela alira sesat itu dan ketika ormas-ormas Islam berbenturan dengan jaringan PKI, mereka membela PKI habis-habisan dan mengambinghitamkan FPI sebagai pelopornya.


Ironi dan menyedihkan mengapa mereka menanamkan kebencian sedemikian rupa terhadap FPI dan menginginkan pembubaran terhadap FPI …?. Akhirnya mereka tidak berdaya untuk memaksa pembubaran FPI dan FPI sampai hari kiamat tidak bisa dibubarkan.


sumber:suara-islam

Ketika FPI Menjadi Martir & Sasaran Kebencian Kaum Fasik Liberal





JAKARTA (VoA-Islam) – Tak bosan-bosannya kaum liberal melempar stigmatisasi kepada Front Pembela Islam (FPI). Setiap kali ada aksi menghadang kemungkaran, kaum liberal langsung “menunjuk hidung”, seolah hanya FPI satu-satunya yang memerangi kemaksiatan. FPI pun dikebiiri dan didesak terus menerus untuk dibubarkan hingga akar-akarnya.


Untuk kasus penolakan Lady Gaga misalnya, FPI bukanlah yang pertama menyerukan penolakan atas kehadirannya penyanyi asal Amerika Serikat itu untuk melakukan konser di Indonesia. Sebelumnya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang budaya KH. Cholil Ridwan telah menyatakan haram menonton pertunjukkan konser pemuja setan itu.


Bukan hanya FPI yang bergerak melakukan penolakan. Tapi ada sejumlah ormas dan komunitas lain yang memiliki sikap yang sama, seperti Forum Umat Islam (FUI), GUMAM, MIUMI, Indonesia Tanpa JIL# dan sebagainya. Menariknya, dalam sebuah polling yang dilakukan TV One, tentang pertanyaan Setujukan anda polisi melarang konser Lady Gaga? Ternyata, 70,23% menyatakan setuju, 26,86% tidak setuju, 2,91% tidak tahu. Hasil survey juga menyebutkan, 75,77% tidak menonton Lady Gaga, 18,09% menonton, dan 6,14% tidak tahu.


Begitu juga saat warga Pasar Minggu memprotes kehadiran Irshad Manji, lagi-lagi kaum liberal menuding FPI satu-satunya ormas Islam yang dianggap sebagai “pengganggu”.


Masih segar dalam ingatan, ketika para pimpinan FPI melakukan kunjungan dakwah ke Kalimantan, kaum fasik liberal mengusung kampanye “Indonesia Damai Tanpa FPI” di Bunderan HI . Meski yang melakukan kekerasan itu adalah masyarakat dayak itu sendiri, yang berupaya melakukan pembunuhan.


Kaum liberal kerap mengklaim, bahwa mereka seolah mewakili masyarakat Indonesia, bahkan atas nama keberagaman. Padahal, jika melihat massa yang berkumpul hanya segelintir saja, bisa dihitung dengan jari.


Beberapa hari kemudian, FUI menggelar aksi “Indonesia Tanpa Liberal” di tempat yang sama. Tapi konyolnya, sebuah media online seperti detik.com dan tempo interaktif memberitakan, massa itu hanya berjumlah puluhan saja. Dari sisi ini, media sekuler tersebut tidak objektif, bahkan terkesan tendensius melihat fakta yang ada di lapangan.

FPI Tempat Pengaduan


Dalam catatan Voa-Islam, tak dipungkiri, Posko FPI di Petamburan III, Tanah Abang, Jakarta Pusat, kerap didatangi masyarakat untuk melakukan pengaduan. Mulai dari kasus Mesuji, gereja liar, kristenisasi, perjudian, miras hingga pelarangan jilbab terhadap muslimah di Rumah Sakit di bilangan Pluit Jakarta Utara.


Ketika ditanya, kenapa harus mengadu ke FPI? Kebanyakan masyarakat beralasan, karena kemana lagi mereka harus mengadu. Ormas Besar seperti NU dan Muhammadiyah terkesan tak mau melayani, jika ada persoalan yang menyangkut SARA dan bernuasakan politik. NU lebih memilih diam, bahkan telah memposisikan dirinya sebagai ormas pluralism yang lebih nyaman membela tirani minoritas.


Meski tidak semua persoalan dapat diselesaikan oleh FPI dalam persoalan hukum, tapi setidaknya ada keseriusan untuk membela kaum yang lemah. Ketika ormas-ormas Islam besar itu memble dan tak berdaya, tampillah FPI sebagai pembela. Harus diakui, FPI kerap pasang badan ketika yang dihadapi adalah kelompok yang memiliki kekuatan modal, bahkan senjata.


Ketika polisi tak bisa mengatasi problema social di tengah masyarakat, FPI mampu mengambil alih untuk itu. Seorang Ustadz Arifin Ilham, pimpinan majelis zikir Az-Zikra sampai mengatakan dalam aku Facebooknya, "Biarlah Arifin menanam padi, dan FPI menjaga tikusnya."


Tatkala terjadi kebuntuan dalam menyelesaikan masalah, adakalanya gesekan-gesekan itu tak bisa dihindari, bahkan bisa menimbulkan benturan yang tajam diantara kedua belah pihak yang berseteru.


Pada akhirnya, FPI terkesan tampil sendiri, padahal banyak umat Islam yang menaruh simpati atas perjuangan FPI selama ini. Yang pasti FPI tidak sendiri. FPI hanyalah martir-martir yang tak peduli dengan celaan orang yang mencela. FPI tidak gusar dengan stigmatisasi yang selalu digemboskan oleh kaum fasik liberal. FPI punya prinsip sendiri dalam menegakkan amar maruf nahi mungkar. Bagi seorang mujahid, dibunuh syahid, dipenjara uzlah, dibuang tamasya.


Semoga Allah melindungi para pejuang FPI yang tak lelah menyadarkan kaum pendosa. Semoga Allah mengistiqomahkan laskar-laskar FPI yang rela dirinya menjadi martir-martir pembela Islam.


sumber: (voa-islam)

0 Comment [area]:

 
[muslimska]MOONER area © 2010 - All right reserved - Using Copyright: hanya mutlak Punya Allah SWT
WARNING: keseluruhan isi blog ini free copy paste tanpa perlu izin penulis..Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu akbar