Cinta itu unsur kimia hati yang merasuk tanpa tersadari. Tak nampak namun bisa dinikmati. Terjaga walau dalam gelapnya arti. Kadarnyapun berwarna-warni. Sewarna 1001 macam kekasih yang menggelanyuti hati. Menawarinya dengan sejuta kenikmatan, pun menjajahnya bagai budak belian. Sewarna warni itu membutuhkan tuntutan, membutuhkan prioritas. Jika anda mampu menempatkan cinta itu dalam nampan-nampan suci, dalam tingkatan kesejatiannya, anda akan menikmati dengan 1001 keindahan yang tak terkira. Pesonanya luar biasa. Jika anda tidak mampu membuat prioritas dan tak bisa menetapkan tingkatan-tingkatannya tidak mengukur derajat-derajatnya, tidak menetapkan kasta-kastanya maka cinta menjadi 1001 persoalan. Seribu satu lara. Satu darinya bahkan lebih berat ketimbang beratnya memikul jabal uhud.
Tak sekedar menanggung derita dan beratnya memikul lara. Tetapi juga sedang berjalan mamasuki lorong gelap menyesatkan dan menyengsarakan, karena ia berjalan dalam kegelapan, atau jalan itu sebenarnya nyata namun tak mampu manatapnya, rabun dan dalam kebutaan. “Dan Allah tidak memberi petunjuk (arah) kepada orang-orang fasik”.
Siapa orang-orang fasik itu? Di ayat sebelumnya Allah mendampingkan sebutan dalam ayat ini dengan sebutan “….maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” [QS. At-Taubah: 23).
Dzalim atau adz-dzulum adalah kegelapan. Tidak bisa memilih dan memilah. Jika gelap jalannya jadi kacau. Blaen (=jawa). Gelap mata. Buta. Love s blind. Cinta itu buta akhirnya.
Dzalim atau adz-dzulum adalah kegelapan. Tidak bisa memilih dan memilah. Jika gelap jalannya jadi kacau. Blaen (=jawa). Gelap mata. Buta. Love s blind. Cinta itu buta akhirnya.
“.. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS.Al-Baqarah:165).
Bagai puncak gunung menjulang. Seperti susunan piramida. Kenikmatan sejati ada pada puncaknya. Berdirinya di puncak cinta ia akan menatap sejuta macam cinta lainnya, yang ada di bawahnya. Derajat cinta itu merangkum kadar-kadarnya. Ada kadar yang ala kadarnya dan ada kadar yang telah ditakdirkan dengan kadar tanpa batas takaran, penakdirannya tak mengenal batas. Tak mengenal luas, kadarnya seluas langit dan bumi, seluas tujuh tingkatan langit. Itulah kadar tertinggi. Itulah derajat teragung dan maqom (tempat) paling mulia. Dan inilah urutan-urutannya:
1. Derajat pertama (tertinggi), adalah cinta dalam bentuk tatayyum, cinta dalam bentuk tatayyum ini adalah cinta kepada Sang Khaliq. Ia berada pada derajat tertinggi. Tidak ada lagi yang diduakan. Cinta tatayyum adalah kecintaan totalitas. Ruang besar tanpa batas. Tanpa reserve. Cinta penghambaan. Cinta yang membudakkan. Artinya siap menjadi budak-Nya. Apa kata Dia, yang dilakukan dengan penuh cinta pula. Sebab Dia telah melimpahkan semuanya dengan cinta. Laa yajidu fii anfusihim khorojan, wayusallimuu taslimaa..(..dan tidak ada lagi dalam hatinya perasaan berat (untuk melaksanakan) dan dia berserah diri dengan penyerahan secara sempurna). Derajat dan bentuk cinta ini hanya untuk Allah SWT. Ruang ini hanya hak Allah. Sami’na wa atha’naa. Mendengar-Nya dan menta’ati-Nya.
” Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada ALLAH “. (Qs. Al Baqarah:165)
2. Derajat kedua, adalah `isy-qu, cinta yang merupakan hak Rasulullah. Penumbuhannya dalam bentuk ‘isyq, keasyikan dalam meneladani Baginda Nabi Muhammad SAW. Kekasih kita. Kecintaan inilah yang mendorong kita untuk bercontoh, ittiba’ atas sunnah-sunnahnya. Asyik, kesediaan jiwa dan langkah untuk berkorban dan berjuang menegakkan risalah yang dibawanya. Kesediaan untuk berjuang menegakkan nilai-nilai Islam. Asyik dalam menelaah kisah perjalannya, karena perjalanannya memang penuh cinta, cinta pada ummatnya. Yang dengan cintanya ia penuh kearifan berdoa bagi anak-anak Thaif yang melemparinya. Ia tersenyum sabar atas tingkah Yahudi buta yang mencaci makinya. Yang dengan cintanya Sang Nabi menaklukkan jiwa-jiwa manusia dalam naungan Islam. Bedanya dengan cinta tatayyum adalah cinta `isyq ini tidak mendorong seseorang untuk menghamba kepada Rasulullah SAW. Tetapi meneladaninya dengan penuh mesra.
Jalan para nabi kita adalah jalan cinta
Kita adalah anak-anak cinta
Dan cinta adalah ibu kita (Rumi).
Jalan para nabi kita adalah jalan cinta
Kita adalah anak-anak cinta
Dan cinta adalah ibu kita (Rumi).
“katakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka: jika engkau mencintai Allah, maka ikutilah aku…”
3. Derajat ketiga, adalah syauq, cinta syauq adalah kecintaan seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya. Antara suami-istri, anak dengan orang tuanya. Jenis kadarnya adalah kadar dengan komposisi penuh kerinduan. Mengharmoni. Pengikatnya adalah ikatan iman. Cinta kepada orang-orang yang beriman mengharuskan kita mencintai semua ‘pekerjaan’ yang mendekatkan kita pada kecintaan kepada Allah dan RAsul-Nya. Cinta ini membuahkan mawaddah wa rahmah (kasih sayang) dan menjadi perekat dalam membangun ummat.
4. Derajat keempat, adalah : shababah, kadar kecintaan ini adalah kecintaan dalam bentuk empati. Peruntukannya kepada sesama muslim. Ruang perhatiannya lebih dalam dari sekedar simpati. Ia lahir dari ikatan dasarnya adalah keimanan. Karena Islamnya. Perhatiannya (care) lebih mendalam. Ada keinginan kuat untuk selalu membahagiankannya. Responsibility. Dorongan jiwa agar ia selalu bertabur sejuta kebaikan dan kebahagiaan. Tidak sekedar suka, tetapi masuk ke ruang jiwanya. Lebih menjiwa. Apa yang dirasakannya akan pula kita rasakan. cinta yang ditujukan kepada sesama muslim sehingga melahirkan ukhuwah Islamiyah. Ada itsar (selalu ingin mendahulukan saudaranya ketimbang dirinya) dan iffah (menjaga diri dari menghiba), ia terpuaskan jiwanya menakala ia sanggup keluar dari persoalan dirinya lalu memberi kemanfaatan untuk kekasihnya.
5. Derajat kelima, adalah : `ithf (simpati) yang ditujukan kepada seluruh manusia. Tanpa memandang ras, suku dan keyakinan. Cinta ini dimunculkan untuk mengilhamkan seseorang menjalin muamalah dengan keluhuran budi. menyeru dan menuntunnya ke jalan Allah. Kadarnyapun (hanya) sebatas suka. Suka itu adalah tarikan jiwa kepada kekasihnya. Rasa suka itu akan mendorong sang pecinta untuk bisa terampil memilih kata, menata jiwa, menghiasi tatakrama, lalu berlama-lama dalam membangun hubungan. Untuk apa derajat cinta ini ditumbuhkan?, Ya. Untuk membimbingnya, mendakwahinya, menuntunnya dan (bahkan) menyelamatkannya. Banyak kafilah jiwa-jiwa yang tersentuh awalmulanya, oleh cinta dalam tingkatan ini. Abu Bakar contohnya. Hamzah bin Abdul Muthalib misalnya. Atau Umar Tilmisani saat sentuhan awal bertemu Imam Hasan Albana.
6. Derajat keenam, derajat terendah cinta harta benda. Kecintaan pada materi. Fitrah ketetapan kecintaan manusia adalah pada materi. Pada benda. Atau yang menghasilkan materi. Kecintaan pada kedudukan, popularitas, posisi, jabatan. Islam membenarkan cinta ini. Lalu membimbingnya dalam dalam kadar yang terukur.
Bentuknya `intifaa’(mendayagunakan/memanfaatkan) nya saja. Pendayagunaan derajat cinta ini tidak sampai merasuk jiwa, mati-matian mengekalkannya atau membudakkan diri padanya. Ruangnya sekadar ruang-ruang permukaan. Sebatas kecenderungan saja. Alaqah, hanya menempel saja, Bak tetasan buliran air di ujung bebatuan goa, menetes, terlepas jatuh lalu mengumpul kembali. Kadang terlepas kadang pula tergenggam. Tentang sejauhmana seharusnya cinta seorang muslim terhadap dunia itulah seorang Salamah bin Dinar berkata, “Jadikan dunia ini dalam genggaman tanganmu dan jangan jadikan ia dalam lubuk hatimu”. Atau senandung munajat sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq RA: “Ya Allah, jadikanlah dunia ini dalam genggamanku dan jangan jadikan dunia ini dalam hatiku”.
Bentuknya `intifaa’(mendayagunakan/memanfaatkan) nya saja. Pendayagunaan derajat cinta ini tidak sampai merasuk jiwa, mati-matian mengekalkannya atau membudakkan diri padanya. Ruangnya sekadar ruang-ruang permukaan. Sebatas kecenderungan saja. Alaqah, hanya menempel saja, Bak tetasan buliran air di ujung bebatuan goa, menetes, terlepas jatuh lalu mengumpul kembali. Kadang terlepas kadang pula tergenggam. Tentang sejauhmana seharusnya cinta seorang muslim terhadap dunia itulah seorang Salamah bin Dinar berkata, “Jadikan dunia ini dalam genggaman tanganmu dan jangan jadikan ia dalam lubuk hatimu”. Atau senandung munajat sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq RA: “Ya Allah, jadikanlah dunia ini dalam genggamanku dan jangan jadikan dunia ini dalam hatiku”.
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 29)
Inilah heararkinya. Karena cinta itu punya hirarki. Begitu kata Ustadz Anis Matta. Semua cinta kita hanya akan menjadi lurus kalau kita menyesuaikan diri dengan hirarki ini. Cinta kepada Allah ditempatkannya sebagai kecintaan tertinggi. Cinta kepada Rasulullah SAW dengan meneladaninya, dan mengasyikkan diri dalam ittiba’ (mengikuti jejak) dengan tanpa ada penghambaan/penyamaan dengan Allah. Cinta pada istri, atau istri-istri dan anak-anak, sanak saudara, handai taulan, karib kerabat, lalu turun pada derajat dibawahnya; pada semua insan, pada rumah, mobil, harta-harta, popularitas dan jabatan semuanya hanya akan menjadi lurus jika ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta pada Allah SWT. Perasaan kita harus ditata dalam struktur cinta seperti itu. Komposisinya harus terukur, derajatnya mesti terurut dan tertata.
Realita kehidupan kita memang menunjukkan betapa banyak manusia yang salah dalam menempatkan derajat-derajat cintanya. Kabur dalam membuat takaran-takaran ukurannya. Kadar-kadarnya. Ada derajat ketujuh membuainya, menjajahnya. Yaitu Cinta Syahwati, kecintaan yang mewariskan kemudaratan. cinta yang tidak termasuk dalam peringkat cinta terendahpun malah dijadikan prioritas utama. Atau ada pula yang salah dalam menempatkan peringkat cintanya. Jika seperti itu, cinta bukan lagi sebagai anugerah, tetapi berubah menjadi samudera duka yang terus mendera. Dan ingat baik-baik kata ini; jika cinta tanpa hirarki, jangan salahkan cinta.
Wallahua'lam..
Wallahua'lam..
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar