Beberapa abad silam, di sudut distrik terpencil Zamakhsyar,
seorang bocah
mungil asyik bermain-main dengan seekor burung. Ketika ibunya memanggil, si
bocah tetap saja asyik bermain hingga akhirnya terjadilah sebuah tragedi :
Bocah ini mematahkan kedua kaki burung. Binatang malang ini mencicit
kesakitan, tetapi si bocah malah terbahak-bahak melihatnya.
mungil asyik bermain-main dengan seekor burung. Ketika ibunya memanggil, si
bocah tetap saja asyik bermain hingga akhirnya terjadilah sebuah tragedi :
Bocah ini mematahkan kedua kaki burung. Binatang malang ini mencicit
kesakitan, tetapi si bocah malah terbahak-bahak melihatnya.
Merasa panggilannya tak digubris, sang ibu menghampiri dengan marah. Dia
bertambah murka ketika tahu anaknya berbuat dosa pada sang burung yang
hampir putus kakinya. "Oh, anakku, bagaimana kau bisa seenaknya mematahkan
kaki burung kecil itu? Itu berdosa anakku. Ia sangat kesakitan. Coba
pikirkan jika itu terjadi padamu. Kamu akan menderita anakku, Kamu sungguh
keterlaluan."
Si bocah menggigil ketakutan. Baru kali ini ia melihat ibunya demikian
marah, mengeluarkan kata-kata kasar dan mengerikan.
Beberapa belas tahun kemudian, si bocah itu sudah menjadi remaja yang
matang. Ia tengah melakukan perjalanan pulang selepas menyelesaikan
belajarnya di sebuah madrasah di Iran. Malang, tiba-tiba seekor
kalajengking menyengat kudanya. Sang kuda meringkik, terhuyung, kemudian
terjerembat dan sang penunggang jatuh terjungkal.
Singkat cerita, sesampai remaja ini di rumah, ternyata kedua kakinya
terkilir hebat dan menurut tabib setempat, tidak bisa dipulihkan.
Satu-satunya jalan keluar adalah mengamputasinya. Ia pun mesti menerima
takdir Allah itu dengan ikhlas dan pasrah, menjadi manusia berkaki buntung.
Sang Ibu benar-benar terpukul atas nasib yang menimpa anaknya itu. Namun
suatu malam sehabis shalat tahajjud, sang ibu tersadar bahwa "kata-kata
buruk" yang dia ucapkan belasan tahun lalu kepada si bocah kecil yang
mematahkan kaki burung itu rupanya kini jadi kenyataan. Dalam larut atas
rasa berdosa yang tak terkendali, ia pun berdoa pada Allah agar di kemudian
hari, meski cacat tubuh, sang anak bisa menjadi manusia yang berguna bagi
Islam dan kaum Muslim.
Doa baik sang ibu dikabulkan Allah. Anak itulah yang di kemudian hari kita
kenal sebagai Abu Qasim Azzamakhsyari, seorang ulama paling brillian di
zamannya, sekaligus cendikiawan garda depan Muktazilah dengan karya
tafsirnya yang terkenal Alkasysyaf.
Dialah satu-satunya ulama yang buntung kedua kakinya, dan itu diyakini buah
dari "kata-kata buruk" sang ibu. Ia menjadi tokoh ternama, dan itu juga
diyakini sebagai buah dari "kata-kata mulia" sang ibu. Benar sabda Nabi SAW
bahwa salah satu doa yang pasti dikabulkan Allah adalah yang terucap dari
mulut orang tua (demi nasib anaknya). Maka, berhati-hatilah berucap untuk
anak-anak kita. Wallahu a'lam
Oleh : Sabrur R Soenardi
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar