Syaikh Ali Ath-Thanthawi dalam bukunya"Rijalun min Al-Tarikh" mengajak pembacanya untuk merenungi sejenak tentang kisah seorang pemuda kaya-raya yang karena tenggelam dalam lautan cinta,akhirnya justru menjadi sengsara.
Pemuda sukses yang saudagar itu pada mulanya seluruh hidupnya hanya diabdikan untuk berdagang.
Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, bahkan mimpinya sendiri hanyalah soal dagang. Diluar dunia dagang, ia nyaris tidak memperhatikannya. Orang tuanya mulai gundah, sebab sang putera sudah cukup umur untuk menikah, sementara ketertarikannya kepada wanita nyaris tidakada. Berkali-kali ditawari menikah, ia menolaknya.
Kedua orangtua pemuda itu tak putus asa. Hampir setiap hari keduanya mendatangkan wanita-wanita cantik nan terhormat di rumahnya, dengan harapan agar anaknya tertarik dan memilih salah satunya untuk dijadikan istri. Bujuk rayu orang tuanya tidak berhasil mencuri perhatian sang putera. Tak satu pun wanita-wanita cantik itu yang menarik perhatiannya.
Namun yang mengejutkan, tiba-tiba pada suatu hari, sang pemuda pergi ke pasar budak. Di pasar itu, ia menjumpai seorang budak wanita, lalu ia jatuh cinta kepada budak wanita tersebut. Setelah dibelinya, budak itu lalu dibawanya pulang dan diperistrinya.
Sejak saat itu, berubahlah seluruh dimensi kehidupannya. Sang pemuda yang biasanya setiap pagi sudah pergi ke pasar dan baru larut malam ia kembali pulang, kini tidak seperti itu lagi. Ia tidak lagi mau pergi ke pasar, mengurus perdagangan dan meraup keuntungan. Ia kini hanya menyibukkan diri untuk mencintai sang isteri. Siang malam ia hanya bercumbu dengan isterinya, sampai akhirnya ia lupa segala-galanya.Kejadian ini tidak hanya berlangsung dalam hitungan hari dan pekan. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun terus bergerak, tapi pola kehidupan pasangan itu tidak berubah. Hingga sampai pada saatnya seluruh kekayaannya habis, bahkan perabot rumah tangga pun sudah mulai digadai.
Ketika orang-orang sekitarnya mengingatkan agar ia kembali berdagang, ia berkomentar sederhana, "Tujuan dagang itu untuk apa? Mengejar keuntungan. Lalu jika keuntungan itu sudah diperoleh, digunakan untuk apa? Untuk memperoleh ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan. Ketahuilah, ketiganya kini telah kudapatkan pada isteriku, lalu untuk apa aku berdagang lagi?"Sampai akhirnya ketika sudah tidak ada lagi miliknya yang bisa dijual, kecuali rumahnya yang tinggal tiang, dinding, dan atapnya saja, ia mulai menyadari.
Kesadaran yang terlambat itupun datangnya bersamaan dengan saat-saat kritis menjelang kelahiran bayi pertamanya. Ketika sang istri akan melakukan persalinan, ia sudah tidak punya apa-apa lagi, hanya ke dukun bayi sekalipun ia tak mampu membayarnya.
Saat itulah sang isteri meminta dengan iba agar suaminya pergi mencari minyak dan peralatan persalinan. Atas permintaan itu, sang suami ke luar rumah, tapi sayangnya sudah tidak ada lagi orang yang dikenali.Demi keselamatan sang isteri dan bayi yang akan lahir, ia terus berjalan, namun iasudah lupa bagaimana cara mendapatkan setetes minyak dan peralatan persalinan lainnya. Lelaki itu hampir saja putus asa. Sekiranya ia tak segera sadar bahwa agama melarangnya untuk bunuh diri, tentu ia sudah mencebur ke sungai atau melemparkan badannya di tengah jalan ramai.
Lelaki itu terus berjalan dan semakin menjauhi rumah dan tempat sang isteri akan melakukan persalinan. Meskipun demikian, bayangan isterinya yang menangis dengan mengiba-iba agar sang suami pergi mencari minyak dan peralatanpersalinan tak bisa hilang dari pikiran dan perasaannya.
Justru bayangan itu mendorongnya untuk semakin jauh berjalan menyusuri jalan-jalan yang tak berujung.
***※※※※‰‰‰‰‰‰※※※※※※※※+**
Cinta itu memang indah, ibarat taman yangdipenuhi bunga yang berwarna-warni. Ada orang yang datang menikmati keindahannya, mencium bau harumnya, menghirup udara segarnya, dan kemudian pulang untuk suatu saat kembali lagi. Akan tetapi ada juga orang yang sekali datang ketempat itu, menikmati keindahannya, kemudian tak mau pergi lagi. Ia ingin menguasai taman itu, sekalipun banyak orang yang juga ingin menikmatinya.
Cinta itu kadang berubah menjadi semacam alkohol yang memabukkan. Sekali mencoba, ingin terus mengulangi, hingga sampai pada titik tertentu ia kemudian mencandu. Jika sudah pada tingkatan ini, maka dari hari ke hari, kadar alkoholnya semakin dinaikkan, dosisnya semakin tinggi, sampai pada saatnya orangtersebut sakit dan mati justru oleh sesuatu"yang dicintai".Jika cinta kepada manusia bisa seperti itu akibatnya, bagaimana dengan cinta kepadaAllah? Dalam kaitan ini, banyak kaum sufi berpendapat bahwa cinta itu bahasa universal, berlaku pada siapa saja dan untuk apa saja. Berlaku universal untuk semua subyek dan obyek.
Cinta kepada Allah yang dilakukan dengan cara yang salah, bisa juga menyengsarakan, bahkan mematikan, sebagaimana kisah di atas. Untuk itu, para sufi berpesan, terutama kepada para pemula agar lebih hati-hati. Jika cinta kepada Ilahi itu diibaratkan samudera, maka orang yang selamat adalah mereka yang berenang. Adapun orang yang tenggelam dalam "lautan cinta" itu, justru tak akan pernah sampai ke tepi.Apa bedanya orang yang berenang di lautan cinta Ilahi dengan mereka yang tenggelam di dalamnya? Orang yang berenang sadar bahwa ia sedang menuju kepada Allah. Ia menikmati segala karunia yang disediakan Allah sambil terus berenang agar bisa sampai ke tujuan (Allah SWT). Adapun orang-orang yang tenggelam itu merasa dirinya sudah sampai kepada Allah. Ia tidak perlu lagi berenang, sebab tujuannya telah sampai. Ia tidak perlu lagi bersusah payah, karenanya ia menenggelamkan diri.
Kini, apakah kita termasuk kelompok perenang atau orang yang tenggelam?
Pemuda sukses yang saudagar itu pada mulanya seluruh hidupnya hanya diabdikan untuk berdagang.
Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, bahkan mimpinya sendiri hanyalah soal dagang. Diluar dunia dagang, ia nyaris tidak memperhatikannya. Orang tuanya mulai gundah, sebab sang putera sudah cukup umur untuk menikah, sementara ketertarikannya kepada wanita nyaris tidakada. Berkali-kali ditawari menikah, ia menolaknya.
Kedua orangtua pemuda itu tak putus asa. Hampir setiap hari keduanya mendatangkan wanita-wanita cantik nan terhormat di rumahnya, dengan harapan agar anaknya tertarik dan memilih salah satunya untuk dijadikan istri. Bujuk rayu orang tuanya tidak berhasil mencuri perhatian sang putera. Tak satu pun wanita-wanita cantik itu yang menarik perhatiannya.
Namun yang mengejutkan, tiba-tiba pada suatu hari, sang pemuda pergi ke pasar budak. Di pasar itu, ia menjumpai seorang budak wanita, lalu ia jatuh cinta kepada budak wanita tersebut. Setelah dibelinya, budak itu lalu dibawanya pulang dan diperistrinya.
Sejak saat itu, berubahlah seluruh dimensi kehidupannya. Sang pemuda yang biasanya setiap pagi sudah pergi ke pasar dan baru larut malam ia kembali pulang, kini tidak seperti itu lagi. Ia tidak lagi mau pergi ke pasar, mengurus perdagangan dan meraup keuntungan. Ia kini hanya menyibukkan diri untuk mencintai sang isteri. Siang malam ia hanya bercumbu dengan isterinya, sampai akhirnya ia lupa segala-galanya.Kejadian ini tidak hanya berlangsung dalam hitungan hari dan pekan. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun terus bergerak, tapi pola kehidupan pasangan itu tidak berubah. Hingga sampai pada saatnya seluruh kekayaannya habis, bahkan perabot rumah tangga pun sudah mulai digadai.
Ketika orang-orang sekitarnya mengingatkan agar ia kembali berdagang, ia berkomentar sederhana, "Tujuan dagang itu untuk apa? Mengejar keuntungan. Lalu jika keuntungan itu sudah diperoleh, digunakan untuk apa? Untuk memperoleh ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan. Ketahuilah, ketiganya kini telah kudapatkan pada isteriku, lalu untuk apa aku berdagang lagi?"Sampai akhirnya ketika sudah tidak ada lagi miliknya yang bisa dijual, kecuali rumahnya yang tinggal tiang, dinding, dan atapnya saja, ia mulai menyadari.
Kesadaran yang terlambat itupun datangnya bersamaan dengan saat-saat kritis menjelang kelahiran bayi pertamanya. Ketika sang istri akan melakukan persalinan, ia sudah tidak punya apa-apa lagi, hanya ke dukun bayi sekalipun ia tak mampu membayarnya.
Saat itulah sang isteri meminta dengan iba agar suaminya pergi mencari minyak dan peralatan persalinan. Atas permintaan itu, sang suami ke luar rumah, tapi sayangnya sudah tidak ada lagi orang yang dikenali.Demi keselamatan sang isteri dan bayi yang akan lahir, ia terus berjalan, namun iasudah lupa bagaimana cara mendapatkan setetes minyak dan peralatan persalinan lainnya. Lelaki itu hampir saja putus asa. Sekiranya ia tak segera sadar bahwa agama melarangnya untuk bunuh diri, tentu ia sudah mencebur ke sungai atau melemparkan badannya di tengah jalan ramai.
Lelaki itu terus berjalan dan semakin menjauhi rumah dan tempat sang isteri akan melakukan persalinan. Meskipun demikian, bayangan isterinya yang menangis dengan mengiba-iba agar sang suami pergi mencari minyak dan peralatanpersalinan tak bisa hilang dari pikiran dan perasaannya.
Justru bayangan itu mendorongnya untuk semakin jauh berjalan menyusuri jalan-jalan yang tak berujung.
***※※※※‰‰‰‰‰‰※※※※※※※※+**
Cinta itu memang indah, ibarat taman yangdipenuhi bunga yang berwarna-warni. Ada orang yang datang menikmati keindahannya, mencium bau harumnya, menghirup udara segarnya, dan kemudian pulang untuk suatu saat kembali lagi. Akan tetapi ada juga orang yang sekali datang ketempat itu, menikmati keindahannya, kemudian tak mau pergi lagi. Ia ingin menguasai taman itu, sekalipun banyak orang yang juga ingin menikmatinya.
Cinta itu kadang berubah menjadi semacam alkohol yang memabukkan. Sekali mencoba, ingin terus mengulangi, hingga sampai pada titik tertentu ia kemudian mencandu. Jika sudah pada tingkatan ini, maka dari hari ke hari, kadar alkoholnya semakin dinaikkan, dosisnya semakin tinggi, sampai pada saatnya orangtersebut sakit dan mati justru oleh sesuatu"yang dicintai".Jika cinta kepada manusia bisa seperti itu akibatnya, bagaimana dengan cinta kepadaAllah? Dalam kaitan ini, banyak kaum sufi berpendapat bahwa cinta itu bahasa universal, berlaku pada siapa saja dan untuk apa saja. Berlaku universal untuk semua subyek dan obyek.
Cinta kepada Allah yang dilakukan dengan cara yang salah, bisa juga menyengsarakan, bahkan mematikan, sebagaimana kisah di atas. Untuk itu, para sufi berpesan, terutama kepada para pemula agar lebih hati-hati. Jika cinta kepada Ilahi itu diibaratkan samudera, maka orang yang selamat adalah mereka yang berenang. Adapun orang yang tenggelam dalam "lautan cinta" itu, justru tak akan pernah sampai ke tepi.Apa bedanya orang yang berenang di lautan cinta Ilahi dengan mereka yang tenggelam di dalamnya? Orang yang berenang sadar bahwa ia sedang menuju kepada Allah. Ia menikmati segala karunia yang disediakan Allah sambil terus berenang agar bisa sampai ke tujuan (Allah SWT). Adapun orang-orang yang tenggelam itu merasa dirinya sudah sampai kepada Allah. Ia tidak perlu lagi berenang, sebab tujuannya telah sampai. Ia tidak perlu lagi bersusah payah, karenanya ia menenggelamkan diri.
Kini, apakah kita termasuk kelompok perenang atau orang yang tenggelam?
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar