Jika sampai di pengujung waktu, saat napas tinggal satu-satu, rasa sakit yang paling ringan seperti ditusuk tiga ratus pedang, tak terbayang bagaimana keadaan saat itu.
Dan ini pasti akan akan kita alami kelak.Kita tentu sering memikirkan bagaimana memahami perasaan orang lain. Namun, sering pula kita tidak terpikir untuk memahami Allah. Kita terbiasa terdogma asal bapak/ibu senang.
Tapi, tak pernah terpikir untuk membuat Allah senang.Dunia telah melenakan kita. Sedangkan masalah akhirat selalu gagal memesonakan kita. Selama 24 jam sehari, 30 hari dalam sebulan, dan 12 bulan dalamsetahun, kita hanya mampu mengorganisasi tubuh tanpa terpikir apakah jiwa kita sudah terstruktur dengan baik.
Saat kita meminta hak kita untuk dipenuhi Allah lewat do'a, jarang terlintas apakah kita sudah menunaikan kewajiban kita terhadapNya. Hidup benar-benar terasa tidak seimbang. Sebab, nikmat sesaat jauh lebih diterima daripada nikmat yang benar-benar nikmat.Jasad dengan tubuh sempurna adalah kekayaan awal yang diberikan Allah. Bagi mereka yang cacat fisik, diberikan kelebihan lain yang tidak dimiliki orang dengan fisik sempurna. Semua sulit terduga. Ilmu kita terlalu kecil untuk bisa tahu rahasia Allah di luar kapasitas kita yang memang serba terbatas.
Dunia bukan milik orang-orang malas. Langit yang ditinggikan tanpa tiang dan bumi yang terhampar luas adalah tanda bagi orang yang berpikir. Sebab, kita telah diberi modal yang penting, otak.Kini, kita mulai tersekat hidup dengan selembar kertas. Selembar kertas yang bertuliskan nama diri dan jenjang pendidikan yang didapat. Kertas itu menjadi legitimasi yang terkadang membuat kewajiban kita terbengkalai karena sibuk dengan aktivitas yang menyita banyak waktu. Kapan waktu untukAllah?
Ketika tak tahu malu sudah menjadi budaya, korupsi uang dan waktu dianggap biasa. Saat jabatan lebih prestisius untuk dikejar, lima menit dalam lima waktu untuk Allah menjadi tergadai. Waktu berlalu sia-sia.
Berapa umur kita sekarang? Semakin bertambah umur, sisa kontrak kita hidup di dunia tinggal sedikit. Pantaskah kita tersenyum dan gembira saat menyambut hari ulang tahun? Naif. Betapa naifnya kita.Padahal, sejatinya dengan bertambahnya usia, kita seharusnya semakin takut.
Jika gagal me-manage waktu, kita selalu menyalahkan Allah yang tidak memperhatikan diri kita, menganggap bahwa do'a hanya sewujud do'a mekanis. Allah jarang mendapat tempat yang sepantasnya di hati kita. Padahal, siapa sesungguhnya kita? Cuma zat yang diciptakan dari tanah lalu ditinggikan derajatnya karena akal budi yang diberikanAllah. Lantas, pantaskah kita bangga?Sesungguhnya, mudah sekali mempersatukan perbedaan. Namun, kita terlampau membuat itu menjadi sulit terwujud. Kita tak pernah berniat untuk menjadi lebih baik daripada kemarin dan hari ini. Inilah bukti kebodohan kita. Kita sering menari-nari di atas sepotong kue ketidakberdayaan kita sendiri.
Telah datang lima waktu bercinta. Terbangun di atas mihrab cinta yang agungdalam percikan air suci saat beberapa anggota tubuh terbasuh. Cinta semakin menyatu saat tangan kanan beramal, tangan kiri tidak tahu. Ternyata, kita kecil. Bukan apa-apa. Lalu, mengapa kita malu mengakui kekerdilan jiwa kita?
Dan ini pasti akan akan kita alami kelak.Kita tentu sering memikirkan bagaimana memahami perasaan orang lain. Namun, sering pula kita tidak terpikir untuk memahami Allah. Kita terbiasa terdogma asal bapak/ibu senang.
Tapi, tak pernah terpikir untuk membuat Allah senang.Dunia telah melenakan kita. Sedangkan masalah akhirat selalu gagal memesonakan kita. Selama 24 jam sehari, 30 hari dalam sebulan, dan 12 bulan dalamsetahun, kita hanya mampu mengorganisasi tubuh tanpa terpikir apakah jiwa kita sudah terstruktur dengan baik.
Saat kita meminta hak kita untuk dipenuhi Allah lewat do'a, jarang terlintas apakah kita sudah menunaikan kewajiban kita terhadapNya. Hidup benar-benar terasa tidak seimbang. Sebab, nikmat sesaat jauh lebih diterima daripada nikmat yang benar-benar nikmat.Jasad dengan tubuh sempurna adalah kekayaan awal yang diberikan Allah. Bagi mereka yang cacat fisik, diberikan kelebihan lain yang tidak dimiliki orang dengan fisik sempurna. Semua sulit terduga. Ilmu kita terlalu kecil untuk bisa tahu rahasia Allah di luar kapasitas kita yang memang serba terbatas.
Dunia bukan milik orang-orang malas. Langit yang ditinggikan tanpa tiang dan bumi yang terhampar luas adalah tanda bagi orang yang berpikir. Sebab, kita telah diberi modal yang penting, otak.Kini, kita mulai tersekat hidup dengan selembar kertas. Selembar kertas yang bertuliskan nama diri dan jenjang pendidikan yang didapat. Kertas itu menjadi legitimasi yang terkadang membuat kewajiban kita terbengkalai karena sibuk dengan aktivitas yang menyita banyak waktu. Kapan waktu untukAllah?
Ketika tak tahu malu sudah menjadi budaya, korupsi uang dan waktu dianggap biasa. Saat jabatan lebih prestisius untuk dikejar, lima menit dalam lima waktu untuk Allah menjadi tergadai. Waktu berlalu sia-sia.
Berapa umur kita sekarang? Semakin bertambah umur, sisa kontrak kita hidup di dunia tinggal sedikit. Pantaskah kita tersenyum dan gembira saat menyambut hari ulang tahun? Naif. Betapa naifnya kita.Padahal, sejatinya dengan bertambahnya usia, kita seharusnya semakin takut.
Jika gagal me-manage waktu, kita selalu menyalahkan Allah yang tidak memperhatikan diri kita, menganggap bahwa do'a hanya sewujud do'a mekanis. Allah jarang mendapat tempat yang sepantasnya di hati kita. Padahal, siapa sesungguhnya kita? Cuma zat yang diciptakan dari tanah lalu ditinggikan derajatnya karena akal budi yang diberikanAllah. Lantas, pantaskah kita bangga?Sesungguhnya, mudah sekali mempersatukan perbedaan. Namun, kita terlampau membuat itu menjadi sulit terwujud. Kita tak pernah berniat untuk menjadi lebih baik daripada kemarin dan hari ini. Inilah bukti kebodohan kita. Kita sering menari-nari di atas sepotong kue ketidakberdayaan kita sendiri.
Telah datang lima waktu bercinta. Terbangun di atas mihrab cinta yang agungdalam percikan air suci saat beberapa anggota tubuh terbasuh. Cinta semakin menyatu saat tangan kanan beramal, tangan kiri tidak tahu. Ternyata, kita kecil. Bukan apa-apa. Lalu, mengapa kita malu mengakui kekerdilan jiwa kita?
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar