Naik kendaraan umum semisal Angkot memberikan kekayaan pengalaman untuk disikapi. Dari pengalaman yang menjengkelkan, menyenangkan bahkan mengharukan. Bagi siapa saja yang sanggup menangkap kesan dari semua itu, maka bertambahlah khazanah kearifan atas dirinya. Inilah karakter seorang mukmin, yaitu orang yang mampu menangkap hikmah yang berserakan di mana saja ia menjumpainya. Bagi yang menganggapnya hal biasa atau bahkan tak peduli, maka semua pengalaman itu menguap begitu saja tanpa kesan dan forgetted.
Di atas Angkot kita belajar kesabaran. Bayangkan, antara penumpang dan sopir memiliki jalan yang sama tetapi dengan kepentingan yang berbeda. Penumpang yang karyawan menginginkan cepat sampai di kantor agar tidak dimarahi atasan karena terlambat. Guru dan anak sekolah ingin cepat sampai di sekolah dan hadir di kelas tepat waktu. Pedagang ingin cepat sampai di pasar agar tidak kehilangan pembeli dan langganannya pindah ke pedagang lain. Maka, biarpun jok Angkot baru hanya satu dua penumpang yang mendudukinya, mereka menginginkan Angkot tetap berlari melaju mengejar waktu.
Tapi tidak bagi sang sopir. Hanya sisa satu celah penumpang yang belum terisi, Angkot masih enggan bergerak. Yang penting baginya setoran cukup dan ada sisa untuk anak isteri di rumah. Ia seperti tidak peduli dengan kegelisahan penumpang. Belum lagi setiap gang atau perempatan ia berhenti dan berharap ada penumpang baru.
Tapi tidak bagi sang sopir. Hanya sisa satu celah penumpang yang belum terisi, Angkot masih enggan bergerak. Yang penting baginya setoran cukup dan ada sisa untuk anak isteri di rumah. Ia seperti tidak peduli dengan kegelisahan penumpang. Belum lagi setiap gang atau perempatan ia berhenti dan berharap ada penumpang baru.
Kadang sopirpun dibuat jengkel dengan sikap sebagian orang. Dari jauh ia sudah melambaikan tangan menawarkan tumpangan. Tapi orang yang ditawarinya tidak sedikitpun memberi respon ”ya” atau ”tidak”. Ia terus saja mendekati Angkot. Dan setelah ia sampai di bibir aspal, barulah ia menggelengkan kepala. Di sini bukan hanya sopir yang jengkel, tetapi juga penumpang. Maka tumpahlah umpatan kejengkelan:
”Bilang dari tadi kalo ga mau naik. Susah amat bilang ya atau tidak!”, mulut sang sopir meninggi.
”Sama Bang, tadi juga waktu ngetem Abang bilang langsung berangkat. Tapi lebih dari sepuluh menit kita naik, Abang baru jalan”, penumpang menimpali.
Booom!. Gas diinjak dengan keras. Semua penumpang terguncang. Ada yang berteriak. Lalu umpatan berlompatan dari setiap bibir penumpang. Ada yang istighfar sambil mengurut dada.
Situasi kisruh seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi asalkan semua pihak sama-sama sabar. Sama-sama mengerti kepentingan masing-masing. Penumpang harus sabar serta cermat menghitung waktu keberangkatan dan selisih waktu ngetem Angkot sehingga tidak khawatir terlambat. Jika perlu tambahkan waktu berangkat lebih awal lima atau sepuluh menit dari kalkulasi waktu normal. Dan jangan pelit sekedar memberi isyarat ”ya” atau ”tidak” pada ajakan tumpangan sopir Angkot. Sopir Angkotpun demikian. Jika janjinya berangkat, ya berangkat.
Satu waktu, Saya pernah tertegun dengan perbincangan sopir dan penumpang Angkot hingga ke dasar hati. Bukan persoalan waktu dan uang setoran antara mereka yang sulit dikompromikan. Tapi perbincangan soal iman walau entah seberapa besar kadar penjiwaan mereka masing-masing. Biarlah itu soal diri mereka dengan Tuhan. Yang jelas, pengalaman saya di Angkot waktu itu seperti perjalanan ruhani yang mengharukan. Hingga saat ini, saya masih mengoleksi kisah itu dan menjadikannya hiasan abadi di dinding ingatan untuk seumur hidup.
Sejak pertama kali melangkahi pintu Angkot itu, saya sudah diberi kesan ramah oleh seorang wanita yang duduk persis di belakang sopir. Saya heran, baru kali itu menurut saya, wanita etnik bersikap demikian. Saya akui, perasaan heran seperti demikian bukanlah sikap yang arif. Keramahan tidak mengenal etnik. Ia milik siapa saja meskipun kadarnya berbeda-beda. Walau kemudian nalar saya bekerja sendiri setelah mendengar isi perbincangan di tengah Angkot yang melaju.
”Masih julan Ci?”.
”Ya,kalo engga jualan, makan dari mana. Sekolah anak-anak siapa yang bayarin”.
”Tapi, sekarang cari uang susah ya Ci. Saya narik dari pagi, sisanya pas buat nutupun kebutuhan hari ini. Enci sih enak, Cuma nungguin toko, uang datang sendiri”.
“Alhamdulillah, tapi sama saja. Kalo rezeki lagi banyak ya banyak. Kalo lagi sepi ya, pas-pasan”.
Haa …, alhamdulillah?. Kalimat itulah yang membuat saya terkesima. Padahal lafadz amat biasa saya ucapkan dan saya dengar. Namun kala itu, ungkapan pujian yang menjadi kebiasaan bagi kita orang Islam, terdengar begitu istimewa dan surprise. Diam-diam saya surprise. Namun semakin jauh perbincangan itu saya ikuti, semakin lazim tahmid yang keluar dari mulut wanita itu. Saya menjadi paham. Bahkan lebih dari sekedar paham. Sesudahnya Saya bahkan kagum.
“Ci maaf ya, saya dengar katanya, mantan suami ingin rujuk?”, sopir Angkot itu melanjutkan perbincangan.
”Tahu dari mana?”.
”Denger-denger aja. Di pangkalan sih santer kabarnya”.
Wanita itu tidak lagi menanggapi. Sepertinya ia tidak ingin masalah pribadinya diketahui orang lain. Saya lihat ia hanya tersenyum. Entah apa arti di balik senyumnya itu. Tapi akhirnya ia bercerita lebih panjang dan lebih substantif.
Menurutnya, mantan suaminya bukan sekedar mengajak kembali berkumpul sebagai suami isteri. Tapi mengajak pula kembali pada agama yang dulu dianutnya. Dengan Tegas ia menolak. Baginya mendapat hidayah Islam setelah sebelumnya ia kafir, adalah hadiah Allah yang tidak ternilai harganya. Ia sudah menentukan jalan hidup dengan memilih Islam sebagai keyakinannya. Ia akan tetap menjadi Islam sampai mati.
Keteguhannya pada Islam yang ia pilih, tidak bergeming dengan fasilitas yang dimiliki mantan suaminya. Bahkan ia berani menganjurkan agar suaminya bertaubat karena telah mempermainkan agama. Kembali memeluk Islam seperti beberapa waktu lalu dan sungguh-sungguh menjadi muslim yang taat. Apabila syarat itu dipenuhi, ia bersedia kembali ke rumah yang ditinggalkan dulu untuk menjadi pasangan dan orang tua bagi anak-anaknya.
”Keyakinan saya pada Islam sudah harga mati. Saya tidak akan mungkin menjualnya dengan apapun. Dengan begini saya sudah bahagia. Saya tidak akan memilih jalan yang belum jelas setelah saya mendapatkan petunjuk dan keselamatan”.
Bulu kuduk saya berdiri. Ya Allah Ya Rabb, Maha Benar Engkau dalam sabdaMu:
”Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi”. (terjemah QS. Al-A’raf [7] : 178).
Iman memang tidak dapat dibeli. Tidak juga diwariskan dari ayah yang beriman. Iman adalah kearifah Allah kepada siapa yang dikehendakiNya. Tetapi hidayah juga harus dicari dan diupayakan. Sebab begitu banyak Allah memberikan hidayah kepada orang yang telah berjuang keras untuk mendapatkannya. Maka, mempertahankan hidayah yang telah digenggam, menjadi lebih berarti bagi yang menghabiskan hidup di jalan Allah. Apapun taruhannya. Kali ini saya temukan tidak di masjid atau majlis ta’lim, tapi di jok Angkot.
Bisa jadi, orang seperti wanita di Angkot itu lebih merasakan manis dan lezatnya iman ketimbang kita yang dilahirkan dengan hidayah yang terpelihara. Mungkin pula mereka lebih keras ujian dan cobaannya ketimbang kita yang sejak semula telah ”nyaman” hidup di bawah atap hidayah. Tidak jarang mereka harus kehilangan keluarga karena diasingkan bahkan dibuang dari komunitas silsilahnya. Tidak sedikit pula yang dilukai fisiknya dan di teror mentalnya. Maka, bersyukurlah berlipat-lipat bagi siapa yang menjadi manusia pilihan Allah dan hidup di bawah bangunan Iman, Islam dan Ihsan sampai ia menutup kelopak mata.
***
”Selamat pagi, Pak”.
”Pagi. Ada yang bisa kami bantu?”.
Pagi sekali, seorang lak-laki mengetuk pintu ruang guru. Saya baru saja meletakkan tas dan membuka layar notebook. Jam baru menujuk angka 06.20 menit. Suasana masih sepi. Tadinya saya menduga laki-laki itu adalah wali murid.
”Pak, saya sopir Angkot. Saya hanya ingin mengembalikan handphone yang saya temukan di jok belakang mobil saya”, katanya membuka percakapan.
”Tapi, mengapa diantar ke sini?”, tanya saya.
”Tadi pagi ada sms, isinya menyebut kelas 7 D Madrasah Pembangunan. Nama pengirimnya juga jelas tertera sebagai siswa sekolah ini”.
Untuk yang kesekian kali, Saya bersyukur bertemu dengan sopir Angkot yang budiman. Saya sampaikan terima kasih. Segera saya persilahkan untuk menunggu dan saya tunjukkan kepada siapa ia harus berhubungan.
Alhamdulillah. Masih tersisa orang-orang baik di sekeliling kita. Masih ada Iman dan jalan ke surga meskipun di atas Angkot. Tinggal kita, bisakah memelihara Iman di manapun kita berada?
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar