Bagi kelompok liberal dan Theosofi, Tuhan yang dipercaya oleh setiap umat beragama itu esensinya sama, cuma beda nama saja. Inilah paham sesat dan menyesatkan yang bisa menjerumuskan pada kemusyrikan.
Alkisah, dalam sebuah gereja seorang pastur mengajukan pertanyaan kepada jemaatnya tentang apa arti pentingnya Tuhan dalam kehidupan Anda. Salah seorang jemaat yang hadir adalah Rika, sosok perempuan murtad yang awalnya muslimah lalu berpindah agama menjadi Katolik. Lewat secarik kertas Rika menjawab pertanyaan sang pastur tersebut dengan mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Allah. Ia memiliki sifat Ar-Rahman (Sang Mahakasih), Al-Mu’min (Sang Pemberi rasa aman), dan seterusnya. Rika menulis nama-nama Allah Yang Mulia (Al-Asmaul Husna), yang merupakan kepercayaan umat Islam terhadap Dzat Yang Mahamulia lagi Maha Sempurna, Allah Azza wa Jalla, Rabb kaum muslimin. Dengan menyebut Asmaul Husna dalam gereja, Rika seolah ingin menggambarkan bahwa Tuhan umat Islam dan Kristen itu sama. Apalagi, sang pastur pun tak membantahnya. Inilah cuplikan dari adegan film “?” (Tanda Tanya), sebuah film propaganda pluralisme agama yang digarap secara “frontal dan berani” oleh sineas liberal Hanung Bramantyo.
Pada kesempatan lain, Rika yang murtad karena suaminya berpoligami mengatakan bahwa agama-agama itu ibarat jalan setapak yang berbeda-beda, tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Dengan kata lain, Rika ingin mengatakan, meski agama kita berbeda-beda, namun pada intinya kita menuju pada satu Tuhan yang sama. Inilah doktrin esoteris (aspek batin) dan eksoteris (aspek lahir) yang juga menjadi kepercayaan Theosofi dalam memandang agama dan Tuhan. Bagi Theosofi, secara eksoteris Islam berbeda dengan agama lain. Islam misalnya ibadahnya shalat lima waktu setiap hari, sedangkan Kristen pergi ke gereja seminggu sekali. Namun, pada aspek esoteris (batin), dalam kepercayaan Theosofi, antara Islam dan Kristen menuju pada Tuhan yang sama.
Keyakinan yang sama pernah dinyatakan mendiang Nurcholish Madjid, lokomotif gerakan liberal di Indonesia. Dalam buku “Satu Tuhan Banyak Jalan” penerbit Mizan, tahun 1999, Cak Nur menulis, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan."
Hanung Bramantyo, dalam sebuah interview dengan situs jaringan Islam liberal, juga memiliki pandangan serupa tentang agama dan Tuhan. Hanung yang kerap mempropagandakan pesan-pesan liberal dan kaum kiri dalam setiap filmnya mengatakan, “Sebenarnya, menurut saya, agama adalah medium sebagaimana kalau saya mau makan yang saya makan itu bukan piringnya, tapi vitamin yang ada di dalam makanannya,” katanya. Hanung menambahkan, “Piring itu mau pakai porselen, pakai plastik, atau pakai daun pisang, itu adalah medium. Nah, buat saya agama hanyalah medium. Substansinya saya bisa berdialog dengan Tuhan dan menghayati makna dari kata-kata Tuhan itu,” tegasnya.
Secara tidak langsung, Hanung ingin mengatakan bahwa, Islam, Kristen, Budha, Hindu, Yahudi, Konghucu, Katolik, dan sebagainya itu hanya medium saja, hanya perantara. Sedangkan esensinya adalah “Berdialog dengan Tuhan dan menghayati makna dari kata-kata Tuhan itu.” Silakan beragama apa saja, misalnya “agama kucing garong” atau “agama kuntilanak”, itu medium saja, just a name, sekadar nama saja, yang penting esensinya bisa berdialog dengan Tuhan, bisa menebar kasih sayang, bisa menolong sesama, bisa membangun toleransi dan persaudaraan, dan lain-lain. Inilah keyakinan kelompok liberal, kebatinan Theosofi, Freemason, dan mereka yang mengusung humanisme.
Dalam sebuah wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla, aktivis liberal yang mengaku berasal dari lingkungan Muhammadiyah, Sukidi, dengan sangat berani mengatakan, “Tuhan selalu diterima beragam umat beragama melalui berbagai nama. Oleh orang Islam, Ia disebut Allah, dan oleh orang Kristen Dia disebut Allah yang mewujudkan diri-Nya dalam bentuk Yesus. Oleh orang Yahudi, Ia disebut Yahweh. Jadi pada esensinya Tuhan itu satu, tapi kita memberi-Nya sekian banyak nama,” katanya. Sukidi menambahkan, “Nama-nama itu mungkin penting, tapi ia juga sekadar piranti menuju pada Yang Satu, Yang Esensi itu sendiri. Karena itu, jangan sekali-kali mengklaim bahwa Islam adalah satu-satunya jalan menuju Tuhan. Islam hanyalah satu di antara sekian banyak jalan menuju Tuhan. Jangan pula kita tertipu oleh nama Tuhan itu sendiri, karena nama adalah simbol, sekadar alat bantu untuk menuju Yang Esensial itu sendiri.”
Keyakinan mengenai Tuhan yang dipropagandakan oleh kelompok liberal saat ini sejatinya sudah sejak lama disuarakan kelompok Theosofi. Dalam Majalah Perhimpunan Theosofie Tjabang Indonesia, No.IV, Tahun 1954, disebutkan, “Kebenaran pada pendapat kami tidak dapat dimonopoli. Setiap orang mempunyai kebenaran atau kenyataan sendiri. Begitupun Tuhan, tidak dapat dimonopoli. Tuhan ada dimana-mana, Satu, tiada yang kedua, meliputi segala dan semuanya, Tuhan tidak terbatas.”Kemudian, dalam Berita Pengurus Besar Perhimpunan Warga Theosofi Indonesia (Perwathin), No.8, Tahun IV, 8 Agustus, 1973 disebutkan, “Bapa kita adalah Tuhan yang Satu, dan Tuhan adalah kasih. Tuhan Tidak Berhingga.”
Tuhan dalam kepercayaan Theosofi mempunyai banyak nama dan tak terbatas, sebagaima ditulis dalam Pewarta Theosofie, “Yang menciptakan barang yang ada itu dinamakan Allah, God, Tuhan, dan ada lagi nama-nama apa saja yang orang mau sebutkan.” (Pewarta Theosofie, No.2 Februari 1930, hal.34) Theosofi mengakar pada kabbalah, sebuah tradisi kepercayaan kuno dari Yahudi yang mempunyai kepercayaan bahwa Tuhan mempunyai 72 nama, yang semuanya hidup dan menyatu pada manusia.
Pemahaman tentang Tuhan yang selaras dengan Theosofi juga pernah diungkapkan R.A Kartini dalam sebuah suratnya kepada Ny. Nelly van Kol, 21 Juli 1902. Kartini mengatakan,“Selama kami maklumi dan mengerti bahwa ujud semua agama itu baik dan bagus adanya. Tetapi, aduhai, manusia apa jadinya agama itu, kalau perbuatan agama dimaksudkan untuk mempertarikan semua makhluk-makhluk Allah yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, tidak pandang pangkat, perempuan ataupun laki-laki. Agama mana yang dipeluknya, semuanya kita ini adalah anak kepada Bapak Yang Satu itu juga, kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Jadi, paham sesat tentang unity of god, kesatuan Tuhan bagi setiap agama-agama, sejatinya sudah disuarakan sejak lama di Indonesia, terutama oleh kelompok Theosofi dan Freemason. Bagi kita umat Islam, akidah tentang “Laa Ilaaha Illallah” (Tiada tuhan, selain Allah), bermakna tidak ada yang patut disembah, diibadahi, ditaati, dan dijadikan tempat meminta segalanya, kecuali hanya Allah Azza wa Jalla. Allahu Ahad. Allah itu satu, tidak berbilang!
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar