Nabi besar Muhammad Saw, bersabda:
“Tegaknya bangsa di dunia ini karena empat pilar: Dengan ilmunya para Ulama, melalui keadilan para pemimpin, dengan kedermawanan orang kaya dan dengan doanya orang-orang miskin.”
“Tegaknya bangsa di dunia ini karena empat pilar: Dengan ilmunya para Ulama, melalui keadilan para pemimpin, dengan kedermawanan orang kaya dan dengan doanya orang-orang miskin.”
Seluruh pilar-pilar yang disampaikan oleh penyelamat ummat, Sang Nabi Saw, benar-benar telah roboh hari ini, di negeri yang gemah ripah loh jinawi, Indonesia. Seperti kata seorang Sufi besar, Ahmad ibnu Athaillah as-Sakandary, “Bukan mata kepala yang buta, tetapi mata hati yang ada di dalam dada, sebagaimana diungkap oleh Al-Qur’an, ‘Sesungguhnya bukan mata kepala yang buta tetapi yang buta adalah hati yang ada di dada.’”
Dari seluruh pilar-pilar yang menjadi syarat tegaknya sebuah bangsa yang beragama, benar-benar satu persatu roboh. Setiap kita menjenguk nusantara kita, diri kita seperti menyaksikan puing-puing peradaban, begitu sadar kembali, negeri ini tiba-tiba berubah menjadi rimba, kala yang dipenuhi oleh binatang-binatang raksasa buas, melumat siapa saja yang lemah tak berdaya. Yang bermunculan adalah kebinatangan, kebuasan, hewaniyah dan kalau toh menampakkan diri dalam sehari-hari, mereka kadang berubah menjadi berhala-berhala, sangat sombong, sangat arogan, sinis, penuh intrik dan kemunafikan yang secara keseluruhan telah menjadi kedzoliman yang sistematis.
1. Ilmunya para Ulama (Dunia Pendidikan)
Mari kita jenguk puing-puing itu. Puing paling fundamental dari seluruh pilar yang ada. Puing Ilmunya para Ulama.
Kita awali saat muncul semangat Islam dimana-mana. Tiba-tiba ummat Islam menjadi latah, gagap, nervous, dan muncul jargon Islamisasi dimana-mana. Antara harapan dan ketakutan menjadi satu, antara mimpi buruk dan angan-angan panjang meruyak dalam satu gerakan, antara harapan fajar pagi dan senja temaram jingga yang menyeramkan menghantar malam-malam yang dekil bangsa ini.
Disanalah awal tragedi bergerak, berarak menjadi teater senjakala ummat dan bangsa ini. Bangsa yang dihuni oleh mayoritas besar ummat Islam, ternyata telah menjadi bangsa dan ummat yang sangat memalukan dunia. Semangat Islam tiba-tiba berubah menjadi tontotan, bukan tuntunan. Dan segala hal yang berbau tontonan telah mengemas Islam menjadi industri yang semrawut seperti pasar hewan yang liar.
Semula kaum berdasi begitu bangga dengan Islam, ketika muncul isu kebangkitan Islam di abad 14 H. Mereka ramai-ramai ber-Islam dengan kebanggaan dan semangat, namun tanpa disertai pengetahuan Islam yang benar, yang dasar-dasar dan prinsipnya telah dikokohkan oleh para Ulama negeri ini. Tiba-tiba dua dasawarsa kemudian, muncul sebuah gerakan berkiblat ala Timur Tengah dengan segenap asesoris tradisinya, bahkan identifikasi Islam “harus” serupa dengan style jubah, syurban, ditambah dengan romantisme Islami yang sangat dangkal dan memuakkan.
Lalu kita saksikan para pengkhotbah jum’at, para muballigh muda, para ustadz di perkotaan, bahkan para selebritis, mulai berani berfatwa dengan menyesatkan apa pun yang berbau tradisi Islam, membuat kata-kata kotor penuh fitnah pada para tokoh dan Ulama, dengan bahasa garang, penuh dendam, dengan mengoyak kesahajaan diganti dengan keangkuhan.
Mereka bukan ahli tafsir, bukan ahli hadits, bukan ahli fatwa, bukan ahli fiqih, bukan ahli tasawuf, bukan ahli agama, bukan mengenal seluk beluk piranti ilmu-ilmu Islam, berfatwa kesana kemari dengan arogan.
Sementara ummat awam, publik pada umumnya yang begitu dangkal dan mudah tersulut, tiba-tiba bergerak menjadi barisan sampah yang berbau anyir, menusuk jantung iman, membungkam nafas-nafas Ilahi, tampaknya tak peduli dengan kebodohan dan kegelapan jiwanya, tiba-tiba mengibarkan bendera dengan panji-panji Islam. Sebuah tragedy penyesatan, yang muncul dari mereka yang gemar berfatwa sesat, dan menyangka apa yang difatwakan adalah kebenaran terbaiknya. Lalu benar sabda Nabi saw, “Mereka (yang mengaku Ulama itu) telah tersesat dan menyesatkan…”
Inilah gambaran negeri ini, bangsa dan ummat ini. Ketika ilmunya para Ulama Billah (Ulamanya Allah, maaf, bukan Ulama karbitan yang suka menyebut-nyebut Nama Allah, juga bukan cendekiawan Muslim yang keras kepala dan hatinya), mulai surut dari peredaran matahari ilmu pengetahuan Islam, suasana jadi haru biru yang menyeramkan.
Bayangkan di kampus-kampus semangat besar ke-Islaman luar biasa, tetapi mereka hanya menangkap sauh, menangkap buih, menyerap asap, menjadi boneka-boneka atas nama Islam, ideologi Islam, syiar Islam, bahkan atas Nama Allah. Bila orang tua dari para mahasiswa itu tahu yang sebenarnya, mereka akan selamanya berdarahkan airmata, menangisi dan menyesali tak habis-habisnya.[pagebreak]
Kemana para Ulama Islam yang hebat? Mereka diambil oleh Allah, karena memang begitulah cara Allah mencabut ilmu-ilmuNya dari muka bumi. Kemana para Kyai yang arif dan bijak bestari? Mereka sudah lama mendahului kita, dan jika ada beberapa diantara mereka, para Kyai yang arif itu pun tidak muncul di permukaan, daripada terkontaminasi oleh kealpaan pada Allah dan fasilitas duniawi, lebih baik menyelamatkan ummat yang dibimbingnya.
Lalu yang muncul di permukaan hanyalah Ulama dan Kyai yang sudah berbaur dengan kekuasaan, uang, dan publisitas murahan. Allah telah memperingatkan mereka dengan bencana demi bencana. Jika peringatan tak digubris juga, hijab kegelapan menjadi selimut mereka. Na’udzubillah min dzaalik.
Jika ilmunya para Ulama telah roboh, maka puing-puing peradaban sebuah bangsa hanya menjadi kenangan yang menyakitkan. Jika Ilmunya Allah mulai dicabut, maka dunia pendidikan di negeri ini telah mundur jauh.
Dari seluruh pilar-pilar yang menjadi syarat tegaknya sebuah bangsa yang beragama, benar-benar satu persatu roboh. Setiap kita menjenguk nusantara kita, diri kita seperti menyaksikan puing-puing peradaban, begitu sadar kembali, negeri ini tiba-tiba berubah menjadi rimba, kala yang dipenuhi oleh binatang-binatang raksasa buas, melumat siapa saja yang lemah tak berdaya. Yang bermunculan adalah kebinatangan, kebuasan, hewaniyah dan kalau toh menampakkan diri dalam sehari-hari, mereka kadang berubah menjadi berhala-berhala, sangat sombong, sangat arogan, sinis, penuh intrik dan kemunafikan yang secara keseluruhan telah menjadi kedzoliman yang sistematis.
1. Ilmunya para Ulama (Dunia Pendidikan)
Mari kita jenguk puing-puing itu. Puing paling fundamental dari seluruh pilar yang ada. Puing Ilmunya para Ulama.
Kita awali saat muncul semangat Islam dimana-mana. Tiba-tiba ummat Islam menjadi latah, gagap, nervous, dan muncul jargon Islamisasi dimana-mana. Antara harapan dan ketakutan menjadi satu, antara mimpi buruk dan angan-angan panjang meruyak dalam satu gerakan, antara harapan fajar pagi dan senja temaram jingga yang menyeramkan menghantar malam-malam yang dekil bangsa ini.
Disanalah awal tragedi bergerak, berarak menjadi teater senjakala ummat dan bangsa ini. Bangsa yang dihuni oleh mayoritas besar ummat Islam, ternyata telah menjadi bangsa dan ummat yang sangat memalukan dunia. Semangat Islam tiba-tiba berubah menjadi tontotan, bukan tuntunan. Dan segala hal yang berbau tontonan telah mengemas Islam menjadi industri yang semrawut seperti pasar hewan yang liar.
Semula kaum berdasi begitu bangga dengan Islam, ketika muncul isu kebangkitan Islam di abad 14 H. Mereka ramai-ramai ber-Islam dengan kebanggaan dan semangat, namun tanpa disertai pengetahuan Islam yang benar, yang dasar-dasar dan prinsipnya telah dikokohkan oleh para Ulama negeri ini. Tiba-tiba dua dasawarsa kemudian, muncul sebuah gerakan berkiblat ala Timur Tengah dengan segenap asesoris tradisinya, bahkan identifikasi Islam “harus” serupa dengan style jubah, syurban, ditambah dengan romantisme Islami yang sangat dangkal dan memuakkan.
Lalu kita saksikan para pengkhotbah jum’at, para muballigh muda, para ustadz di perkotaan, bahkan para selebritis, mulai berani berfatwa dengan menyesatkan apa pun yang berbau tradisi Islam, membuat kata-kata kotor penuh fitnah pada para tokoh dan Ulama, dengan bahasa garang, penuh dendam, dengan mengoyak kesahajaan diganti dengan keangkuhan.
Mereka bukan ahli tafsir, bukan ahli hadits, bukan ahli fatwa, bukan ahli fiqih, bukan ahli tasawuf, bukan ahli agama, bukan mengenal seluk beluk piranti ilmu-ilmu Islam, berfatwa kesana kemari dengan arogan.
Sementara ummat awam, publik pada umumnya yang begitu dangkal dan mudah tersulut, tiba-tiba bergerak menjadi barisan sampah yang berbau anyir, menusuk jantung iman, membungkam nafas-nafas Ilahi, tampaknya tak peduli dengan kebodohan dan kegelapan jiwanya, tiba-tiba mengibarkan bendera dengan panji-panji Islam. Sebuah tragedy penyesatan, yang muncul dari mereka yang gemar berfatwa sesat, dan menyangka apa yang difatwakan adalah kebenaran terbaiknya. Lalu benar sabda Nabi saw, “Mereka (yang mengaku Ulama itu) telah tersesat dan menyesatkan…”
Inilah gambaran negeri ini, bangsa dan ummat ini. Ketika ilmunya para Ulama Billah (Ulamanya Allah, maaf, bukan Ulama karbitan yang suka menyebut-nyebut Nama Allah, juga bukan cendekiawan Muslim yang keras kepala dan hatinya), mulai surut dari peredaran matahari ilmu pengetahuan Islam, suasana jadi haru biru yang menyeramkan.
Bayangkan di kampus-kampus semangat besar ke-Islaman luar biasa, tetapi mereka hanya menangkap sauh, menangkap buih, menyerap asap, menjadi boneka-boneka atas nama Islam, ideologi Islam, syiar Islam, bahkan atas Nama Allah. Bila orang tua dari para mahasiswa itu tahu yang sebenarnya, mereka akan selamanya berdarahkan airmata, menangisi dan menyesali tak habis-habisnya.[pagebreak]
Kemana para Ulama Islam yang hebat? Mereka diambil oleh Allah, karena memang begitulah cara Allah mencabut ilmu-ilmuNya dari muka bumi. Kemana para Kyai yang arif dan bijak bestari? Mereka sudah lama mendahului kita, dan jika ada beberapa diantara mereka, para Kyai yang arif itu pun tidak muncul di permukaan, daripada terkontaminasi oleh kealpaan pada Allah dan fasilitas duniawi, lebih baik menyelamatkan ummat yang dibimbingnya.
Lalu yang muncul di permukaan hanyalah Ulama dan Kyai yang sudah berbaur dengan kekuasaan, uang, dan publisitas murahan. Allah telah memperingatkan mereka dengan bencana demi bencana. Jika peringatan tak digubris juga, hijab kegelapan menjadi selimut mereka. Na’udzubillah min dzaalik.
Jika ilmunya para Ulama telah roboh, maka puing-puing peradaban sebuah bangsa hanya menjadi kenangan yang menyakitkan. Jika Ilmunya Allah mulai dicabut, maka dunia pendidikan di negeri ini telah mundur jauh.
Betapa tidak? Ketika bangsa ini belum merdeka, dengan fasilitas yang sangat terbatas, muncul cendekiawan dan intelektual Indonesia yang mendunia, muncul para Ulama Indonesia yang diakui dunia dengan karya-karya besarnya. Tetapi hari ini, dunia pesantren tak berdaya, industri ilmu-ilmu Islam yang luar biasa itu, telah mulai menyusut kearah degradasinya. Sementara kebijakan pendidikan kita dan kemajuan yang diraihnya, jauh dibanding negara-negara di Afrika, atau Negara yang baru merdeka seperti Vietnam.
Hari ini berjuta-juta anak bangsa terlantar sekolah karena biaya yang mahal. Ada sekolah gratis, tapi masih terbatas, itu pun masih disertai dana-dana sumbangan siluman di sana sini.
Dunia pendidikan kita telah dirobohkan oleh kebodohan mereka yang mengkonsep system pendidikan, stategi pendidikan, dan politik pendidikan yang justru membodohkan bangsa, seperti runtuhnya pengetahuan agama kita dirobohkan oleh mereka yang menjual ilmunya dengan fasilitas duniawi yang murah dan hina, lalu muncullah Ulama-ulama tolol yang berbau sampah kemunafikan meruyak pengetahuan agama dengan fatwanya.
Ilmunya para Ulama berarti hadirnya dunia pendidikan yang memproduksi kualitas manusia yang bermoral. Namun hari ini, yang disebut moral Islam, lebih banyak ditampilkan dengan formalitas pakaian, formalitas senyuman, formalitas agar disebut beretika dan beradab. Sebuah kebanggaan yang retak, semu dan menyesakkan nafas luhur dari Islam itu sendiri. Sungguh sangat menakutkan. Karena budi pekerti tidak muncul dari hati. Tetapi muncul dari hawa nafsu yang mencari keuntungan dibalik Nama-nama Ilahi.
Apalagi ilmunya Ulama-ulama yang mengenal Allah (ma’rifat billah), tahun-tahun terakhir ini dianggap sebagai sesuatu yang asing, langka, dan bahkan sering disesatkan oleh ketololan dan kegelapan nafsu.
Hari ini berjuta-juta anak bangsa terlantar sekolah karena biaya yang mahal. Ada sekolah gratis, tapi masih terbatas, itu pun masih disertai dana-dana sumbangan siluman di sana sini.
Dunia pendidikan kita telah dirobohkan oleh kebodohan mereka yang mengkonsep system pendidikan, stategi pendidikan, dan politik pendidikan yang justru membodohkan bangsa, seperti runtuhnya pengetahuan agama kita dirobohkan oleh mereka yang menjual ilmunya dengan fasilitas duniawi yang murah dan hina, lalu muncullah Ulama-ulama tolol yang berbau sampah kemunafikan meruyak pengetahuan agama dengan fatwanya.
Ilmunya para Ulama berarti hadirnya dunia pendidikan yang memproduksi kualitas manusia yang bermoral. Namun hari ini, yang disebut moral Islam, lebih banyak ditampilkan dengan formalitas pakaian, formalitas senyuman, formalitas agar disebut beretika dan beradab. Sebuah kebanggaan yang retak, semu dan menyesakkan nafas luhur dari Islam itu sendiri. Sungguh sangat menakutkan. Karena budi pekerti tidak muncul dari hati. Tetapi muncul dari hawa nafsu yang mencari keuntungan dibalik Nama-nama Ilahi.
Apalagi ilmunya Ulama-ulama yang mengenal Allah (ma’rifat billah), tahun-tahun terakhir ini dianggap sebagai sesuatu yang asing, langka, dan bahkan sering disesatkan oleh ketololan dan kegelapan nafsu.
2. Keadilan pemimpin (Pribadi pemimpian dan system pemerintahan yang bersih dan memihak rakyat)
Apakah para pemimpin negeri ini tidak adil? Apakah peristiwa peradilan itu bukti sebagai keadilan para pemimpin? Apakah banyaknya lembaga peradilan itu menunjukkan kesungguhan penegakan keadilan? Siapa yang mendapatkan kelayakan keadilan? Kenapa ada pilihan-pilihan penegakan hukum dan keadilan? Apakah penegakan keadilan itu professi lantas dijadikan lahan pekerjaan, bukan dijadikan sebagai tugas mulia?
Apakah rakyat kecil yang diam membisu itu wujud setuju atas kebijakan penguasa yang sesungguhnya tidak memihak mereka? Sampai kapankah atas nama keadilan menipu berjuta-juta bangsa ini?
Bukankah jeritan ketidak adilan sudah lama muncul dari hati nurani rakyat kecil, lalu mereka hanya bisa berucap dengan putus asa, “Biar Tuhan yang mengadili…!”? Sampai kapan mereka menjadi konsumen kebohongan dari industri kekuasaan yang zalim?
Siapa sebenarnya yang mereka pimpin? Apakah mereka ini pemimpin rakyatnya atau menjadi boneka orang yang memiliki kepentingan? Apakah mereka ini pemimpin rakyat, bangsa dan ummat, ataukah mereka ini seakan-akan pemimpin, karena jabatan itu adalah lambang dari sebuah prestisius? Apakah mereka ini sudah matirasa dengan Keadilan Tuhan? Apakah mereka yang mengibarkan lambang dan bendera keadilan itu benar-benar adil? Beranikah mereka mengadili orang yang mengangkat mereka? Hati nurani yang menjawab.
Karena ketidak adilan dan kebohongan senantiasa muncul dari mulut, yang malah bisa sebaliknya dari apa yang diucapkannya. Seperti orang yang mengatakan, “Saya tidak sombong!” Sebenarnya hatinya sangat sombong dan arogan. “Saya dengan ikhlas memberikan semua ini…” Pasti hatinya tidak ikhlas.
Ayat Al-Qur’an benar, “Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul, dan yang menjabat pemimpin dari kalian…” Tetapi ayat ini tidak boleh dibaca oleh para penguasa. Karena ayat ini hanya layak dibaca rakyat. Ayat yang harus dibaca penguasa adalah “Perintahlah dengan adil dan baik…”.
Sejenak kita renungkan refleksi di bawah ini:
Apakah para pemimpin negeri ini tidak adil? Apakah peristiwa peradilan itu bukti sebagai keadilan para pemimpin? Apakah banyaknya lembaga peradilan itu menunjukkan kesungguhan penegakan keadilan? Siapa yang mendapatkan kelayakan keadilan? Kenapa ada pilihan-pilihan penegakan hukum dan keadilan? Apakah penegakan keadilan itu professi lantas dijadikan lahan pekerjaan, bukan dijadikan sebagai tugas mulia?
Apakah rakyat kecil yang diam membisu itu wujud setuju atas kebijakan penguasa yang sesungguhnya tidak memihak mereka? Sampai kapankah atas nama keadilan menipu berjuta-juta bangsa ini?
Bukankah jeritan ketidak adilan sudah lama muncul dari hati nurani rakyat kecil, lalu mereka hanya bisa berucap dengan putus asa, “Biar Tuhan yang mengadili…!”? Sampai kapan mereka menjadi konsumen kebohongan dari industri kekuasaan yang zalim?
Siapa sebenarnya yang mereka pimpin? Apakah mereka ini pemimpin rakyatnya atau menjadi boneka orang yang memiliki kepentingan? Apakah mereka ini pemimpin rakyat, bangsa dan ummat, ataukah mereka ini seakan-akan pemimpin, karena jabatan itu adalah lambang dari sebuah prestisius? Apakah mereka ini sudah matirasa dengan Keadilan Tuhan? Apakah mereka yang mengibarkan lambang dan bendera keadilan itu benar-benar adil? Beranikah mereka mengadili orang yang mengangkat mereka? Hati nurani yang menjawab.
Karena ketidak adilan dan kebohongan senantiasa muncul dari mulut, yang malah bisa sebaliknya dari apa yang diucapkannya. Seperti orang yang mengatakan, “Saya tidak sombong!” Sebenarnya hatinya sangat sombong dan arogan. “Saya dengan ikhlas memberikan semua ini…” Pasti hatinya tidak ikhlas.
Ayat Al-Qur’an benar, “Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul, dan yang menjabat pemimpin dari kalian…” Tetapi ayat ini tidak boleh dibaca oleh para penguasa. Karena ayat ini hanya layak dibaca rakyat. Ayat yang harus dibaca penguasa adalah “Perintahlah dengan adil dan baik…”.
Sejenak kita renungkan refleksi di bawah ini:
Dalam kaidah fiqih disebutkan, “Pemimpin itu berorientasi pada kemashlahatan rakyat”. Begitu juga soal pilihan dari dua hal yang buruk, “Pemimpin yang secara pribadi banyak dosanya (kemaksiatan pribadi) namun sangat peduli pada rakyatnya, lebih baik ketimbang pemimpin yang saleh, ahli ibadah, tetapi tidak memihak kepentingan rakyatnya.”
3. Kedermawanan orang-orang kaya
(Pelaku ekonomi dan system ekonomi berdimensi kerakyatan)
Negeri kita bangkit ekonominya sejak tahun 70-an. Tetapi tiba-tiba ambruk ketika peredaran modal, konglomerasi dan kapitalisasi memihak pada orang-orang kaya. “Jangan sampai modal itu berputar ditangan orang-orang kaya diantara kalian,” demikian tegas Al-Qur’an. Sentralisasi ekonomi pada pengusaha-pengusaha kaya harus dikendalikan Negara, apalagi konsep globalisasi yang hendak dicanangkan dunia, semakin menjepit mayoritas warga bangsa dunia, karena modal dan kebijakan ekonomi hanya akan dipegang oleh seperlima (1/5) warga dunia.
Al-Qur’an memberikan sinyal luar biasa, “Kalian tidak meraih kebajikan selama kalian tidak menafklahkan harta yang kalian cintai…”
Allah mengecam 115 kali lebih pada dunia, agar para hambaNya tidak mencintai dunia walau pun ia kaya. Karena harta itu titipan Allah, hakikatnya bukan hasil karya dan kerja kerasnya. Mencintai harta adalah awal tragedy dunia dan akhirat.
Pasar adalah nafsu. Mengendalikan nafsu berarti perjuangan membersihkan kerakusan hewaniyah dan kekejaman emosional dalam diri manusia. Pengendalian nafsu ini harus diterjemahkan dalam system ekonomi dan pasar, apa pun namanya. Bahkan jika menggunakan nama syariat, nama Islamy, tetapi muatannya justru liberalisasi ekonomi, jelas bertentangan dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri.
Robohnya ekonomi kita diakibatkan oleh konsentrasi kekayaan pada para elit pengusaha. Bahkan kalau perlu atas nama pengentasan kemiskinan, sebagai topeng politis untuk menutupi gurita-gurita ekonominya, akhirnya kebijakan pemihakan terhadap kaum miskin muncul dalam gerakan karikatif, BLT, bantuan-bantuan semu yang membius. Rakyat toh, tak pernah dididik berhubungan dengan bank secara benar, dan kemudahan-kemudahan modal hanya wacana yang membubung tak pernah punya fondasi struktur yang kokoh.
Coba kita renungkan tragedy orang-orang kaya di bawah ini:
(Pelaku ekonomi dan system ekonomi berdimensi kerakyatan)
Negeri kita bangkit ekonominya sejak tahun 70-an. Tetapi tiba-tiba ambruk ketika peredaran modal, konglomerasi dan kapitalisasi memihak pada orang-orang kaya. “Jangan sampai modal itu berputar ditangan orang-orang kaya diantara kalian,” demikian tegas Al-Qur’an. Sentralisasi ekonomi pada pengusaha-pengusaha kaya harus dikendalikan Negara, apalagi konsep globalisasi yang hendak dicanangkan dunia, semakin menjepit mayoritas warga bangsa dunia, karena modal dan kebijakan ekonomi hanya akan dipegang oleh seperlima (1/5) warga dunia.
Al-Qur’an memberikan sinyal luar biasa, “Kalian tidak meraih kebajikan selama kalian tidak menafklahkan harta yang kalian cintai…”
Allah mengecam 115 kali lebih pada dunia, agar para hambaNya tidak mencintai dunia walau pun ia kaya. Karena harta itu titipan Allah, hakikatnya bukan hasil karya dan kerja kerasnya. Mencintai harta adalah awal tragedy dunia dan akhirat.
Pasar adalah nafsu. Mengendalikan nafsu berarti perjuangan membersihkan kerakusan hewaniyah dan kekejaman emosional dalam diri manusia. Pengendalian nafsu ini harus diterjemahkan dalam system ekonomi dan pasar, apa pun namanya. Bahkan jika menggunakan nama syariat, nama Islamy, tetapi muatannya justru liberalisasi ekonomi, jelas bertentangan dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri.
Robohnya ekonomi kita diakibatkan oleh konsentrasi kekayaan pada para elit pengusaha. Bahkan kalau perlu atas nama pengentasan kemiskinan, sebagai topeng politis untuk menutupi gurita-gurita ekonominya, akhirnya kebijakan pemihakan terhadap kaum miskin muncul dalam gerakan karikatif, BLT, bantuan-bantuan semu yang membius. Rakyat toh, tak pernah dididik berhubungan dengan bank secara benar, dan kemudahan-kemudahan modal hanya wacana yang membubung tak pernah punya fondasi struktur yang kokoh.
Coba kita renungkan tragedy orang-orang kaya di bawah ini:
Kata seorang Wali, jika kemiskinan mengarahkan seseorang pada kekafiran, maka kekayaan mengarahkan seseorang pada kesombongan.
Berjuta-juta orang miskin di negeri ini, sudah enggan mendoakan orang-orang kaya dan penguasanya, karena mereka terlempar dari kepedulian system dan manusia-manusia yang sombong oleh kepemilikan dan kedudukannya.
Berjuta orang miskin di negeri ini lebih banyak memaki dan melaknat mereka, dalam kesunyian dan kedekilan nuraninya akibat ketertindasan.
Ada seorang sufi, setiap mau makan selalu mengundang para muridnya untuk makan bersama. Ketika ramai orang makan dengan lahapnya, siapa tahu sang sufi ini lupa pada orang-orang miskin. Kadang sang sufi beberapa hari tidak makan, karena setiap suap yang hendak menyentuh bibirnya, Allah membukakan hatinya tentang kondisi orang-orang miskin di negeri ini. Maka suapan itu tidak lagi bisa masuk ke mulutnya, tenggorokannya tercekak. Bagaimana ia bisa makan ketika di hadapannya serasa banyak orang yang lapar?
Tetapi di negeri ini sangat ironis. Para penguasanya malu mengakui tingkat kemiskinan yang bertambah, dan malu kepada tetangga negeri jika bangsanya tambah miskin.
Namun, anehnya mereka bangga dengan deretan orang-orang miskin, deretan tangan-tangan yang meminta, menengadahkan bantuan. Apakah kemiskinan itu juga lahan bagi kepentingan-kepentingan? Dimanakah nurani mereka itu, ketika harta dikuras, sekarang justru keringat dan airmata orang-orang miskin juga dikuras?
Masya Allah!
Komentar [area]:
0 Comment [area]:
Posting Komentar